Rabu, 11 Juli 2012

Sebuah Gigi di Tengah Persilangan Garis Tangan



Diawali sebuah gigitan kecil di gusi basahnya, pss… Bius setempat mematikan sebagian rasa namun mengentalkan rasa yang lain. Te terbangun di sebuah kesadaran. Menyusuri dinding putih, sebuah rak  kaca, cetakan-cetakan gigi dari gipsum dengan nama-nama pemiliknya, berderet, bertumpuk, terikat dalam keadaan terkatup tak sempurna...
Buka mulutmu lebih lebar lagi... tahan sebentar...” Perempuan itu masih menganga. Menatap cahaya kuat di hadapnya yang sejak tadi menyoroti interior mulutnya. Sekujur tubuh masih bertegang, meyakinkan diri bahwa hampir usai untuk saat ini. Bahwa bius tidak mengebalkan pikirannya.
“Gigit kapasnya yang kencang… Satu jam lagi boleh buang ludah,” suara yang selalu terdengar ramah berlebihan, berkata-kata seolah tidak ada yang aneh dengan menggigit kapas selama satu jam? Bahwa Te bukanlah pasien pada umumnya. Bahwa sang dokter adalah teman berdiskusi yang baik bahkan sejak ia bergigi susu. Bahkan kursi itu adalah favoritnya! Dimana akan ia istirahatkan sejenak pikiran itu, dan pertanyaan tinggal ia lemparkan begitu saja seperti kulit-kulit kacang dimana sang dokter dengan gesit menangkapnya. Berdua mereka akan membuat antrian panjang melingkar-lingkar di ruang tunggu di luar. Biasanya.
Hmm, hari ini kamu stress sekali, Te? Gigimu goyah semua. Mudah saja saya mencabut satu gerahammu tadi…” Kadang dokter itu pula yang pertama kali memastikan keadaan dirinya, bahwa Te sedang bergembira, atau Te sedang tertekan. Ia bilang segala sesuatu dapat terbaca hanya dengan melihat kondisi geligi di mulut. Barangkali gempa atau tsunami pun bisa ia baca disana. Sang pasien hanya mendelik-delikkan mata, lebih banyak dari biasanya. Mengingat udara dalam lapisan liur yang membungkam mulutnya yang masih harus ia simpan selama satu jamOh pipi yang kian menggembung, Te ingin terbang bersamanya... Kursi ajaib itu pun merendah otomatis, mendaratkan Te kembali ke bumi. Ini kali kedua ia mendapati geraham sehat di atas telapaknya. 
*
Laki-laki itu berbinar mendapati dua kepalan yang diajukan kekasih di hadapannya. Wajah gadis itu pun nampak begitu misterius, tak ada laki-laki di dunia yang sanggup menyelesaikan puzzle di wajah-wajah seperti itu. Walau segalanya nampak sempurna. A table for two, a table with a view. Di teras ini, beberapa menit lagi puluhan matahari akan terbenam dari kaca-kaca gedung sekitarnya, pantul-memantul. Pada ketinggian ini kemacetan lalu lintas pun dapat dinikmati selayaknya pemandangan di perkebunan teh. Walau mereka harus membayar jumlah yang tak lazim untuk dua cangkir teh dari daun teh yang konon dipetik dari Afrika Selatan, dan konon dapat mengobati insomnia. Konon wanita hanya butuh dimengerti...
Aku pilih yang kiri.”  Laki-laki itu tercucuk mengikuti permainannya. Te pun membuka kepalan tangan kirinya dengan fantastis. Diawali dengan kepakan jari kelingkingnya yang bengkok, diikuti jari manis, jari tengah, telunjuk, berikut jempol, dan…
Sebuah gigi di atas telapak Di tengah persilangan garis-garis tangan...
Sebuah gigi sebatang kara, tidak pada tempatnya. Membujur kaku, diserang ruang. Gigi  tidak sekecil yang dibayangkan, memiliki tubuh langsing semampai tertanam di balik gusi. Akar gigi. Selama ini yang terlihat hanyalah permukaannya saja. Mahkota gigi. Pria itu tercekat, diangkatnya gigi itu ke udara.
“Selamat! Kau boleh bawa pulang geraham kiri bawahku yang sehat ini!” akhirnya Te memberi sedikit penjelasan.
“Ini untukku?” ada jeda membelah bibir laki-laki itu. Ia pun  merasa diliputi oleh suatu selubung keunikan, bahwa barangkali hanya dirinyalah di antara teman-teman sekantornya, atau bahkan di antara laki-laki di dunia ini yang menyimpan gigi seorang kekasihnya yang masih hidup. Barangkali perasaan yang sama pada seorang pemburu yang meronce gigi binatang-binatang yang berhasil ditaklukkannya di hutan sebagai kalung di lehernya? Glek. Sesaat kemudian ia tutup kembali pikirannya yang meliar tadi. Betapa ngerinya menyimpan sebuah gigi milik kekasihnya? Teror macam apa yang ditawarkan kepadanya?
“Kenapa kamu mencabut gigimu, sayang?” suara laki-laki itu terdengar tenang, walau kerut-kerut di dahinya berbicara lain. Te terkejut mendapati kekasihnya yang seperti tidak tahu menahu mengenai rencana besar yang ada di kepalanya selama ini. Seolah era telepati telah dimulai semenjak mereka mulai berpacaran.
“Masa tidak tau? Aku harus cabut empat gigi. Aku butuh ruang gerak agar bisa mengatupkan gigi-gigiku dengan sempurna, untuk bebas tersenyum dengan wajah simetris.” Betapa anehnya kalimat itu sekalipun mau diulang dua kali. Dan Te tak memberinya kesempatan untuk mencerna kalimat itu,
“Sampai hari ini aku sudah cabut dua. Satu untukku, satu untukmu. Kalau tadi kau pilih tangan kanan, kau akan mendapatkan geraham kanan bawahku” Te menguak tangan kanannya. Kejutan kedua. Hati-hati pemuda itu pun mengangkat geraham kanan itu mendekati wajahnya, dengan geraham lain pada tangan yang lain. Sepasang gigi bersih nan sehat dengan tungkai telanjang... jasad yang terkulai tak bernyawa (apakah mereka pernah punya?). ‘Satu untukku, satu untukmu’, di luar sini tak membuatnya menjadi bagian dari siapapun...

Sebuah rongga di dalam mulutnya mulai berdenyut. Te terngiang akan semalam mimpinya, begitu nyata, seolah pernah saja terjadi beberapa tahun yang lalu, pada hari-hari dimana semua yang nyata dengan yang tidak nyata hanyalah sekedipan mata... Te kanak-kanak dengan kostum kelincinya... Berlari-larian di atas bukit berbunga... Berloncatan ke sana kemari seperti layaknya anak kelinci... Tiba-tiba rintik-rintik salju berjatuhan dari langit. Sekejap saja bukit itu diliputi salju putih. Te kelinci semakin saja kegirangan! Sambil bernyanyi-nyanyi ia menaik turuni bukit-bukit... traaalala..lala..lala... Begitu bersemangatnya hingga ia tidak memperhatikan jurang menanti di hadapannya. Di dalam kebahagiaannya, di tengah lompatannya yang terakhir, yang tertinggi, yang terjauh, tiba-tiba ia menoleh ke bawah... Aahkhh!!   Salju itu lenyap. Sebuah lubang hitam merangkulnya! Dan  Te kelinci pun terjatuh ke dalam lorong yang tidak pernah ada dasarnya... Ia memberontak,  mencoba mengerahkan segala daya upaya untuk membuatnya berbalik ke arah tempat pertama kali ia terjatuh, namun ia tidak pernah mencapainya. Bibir sumur itu juga telah membumbung tinggi, jauh meninggalkannya pada saat bersamaan ketika ia mulai jatuh... Dasar dan bibir sumur... keduanya  meninggalkan dirinya... di tengah-tengah... “Aaaahkhh!!”

“Sayang, aku tidak bisa menerima hadiah ini,” suara itu menggetarkan lamunannya. Setetes embun menggelincir dari mata Te. Laki-laki di hadapannya telah dikutuk karena tidak memahami perasaan wanita. Seorang pelayan mengurungkan niatnya untuk mengisi cangkir setengah kosong yang ada di hadapan gadis itu. Dan kini mata-mata para pemilik kuping-kuping di sekitarnya pun mulai malu-malu menoleh. Laki-laki itu merasa malu melihat dirinya di mata mereka. Ia menjadi jengkel ketika mulai merasa bersalah atas apa yang tidak pernah diperbuatnya. Setetes air mata, hakim keji sok berkuasa! Padahal Te yang ia tahu adalah gadis yang paling rasional, tidak pernah menangis di bioskop, tidak mau dibayari minum secangkir pun, tidak pernah menelponnya saat jam istirahat, tidak mau tau tentang teman-teman perempuan pacarnya, dan terkadang sedikit tidak berbelas!  Terlintas suatu masa yang pernah mereka lalui, kala ia terbakar api cemburu terhadap teman pria sekantor Te yang selalu mengajaknya makan siang...
“Kenapa kamu?” Te terheran-heran mendapati pacarnya berbicara megap-megap saat laki-laki itu justru mencoba setenang mungkin.
“Pokoknya!  Aku gak suka!  Kamu pergi sama dia! Pokoknya!”  Te melihat, kekasih itu terlalu banyak mengambil nafas, paru-parunya hampir meledak tersesaki oksigen.
“Kamu cemburu?” Alis mata sok kejut dan huruf U yang masih tertinggal di bibir Te, membuat  laki-laki itu heran mengapa wajah sedemikian menjengkelkannya bisa menjadi kekasihnya.
“Cemburu?! Tidak! Aku hanya tidak suka! Pokoknya!” Ia meraup seluruh oksigen di ruangan, berjalan mondar-mandir, tidak pernah ada  tempat yang nyaman untuk berdiri.
“Aneh... Cemburu itu apa ya?” Te menatapnya penuh analisa. Separuh jemarinya melintangi mulut. Sebuah kesimpulan di dalam pertanyaannya. Jantung laki-laki itu hampir copot menghadapi situasi macam ini. Seolah-olah mereka berdua adalah kelinci percobaan di sebuah laboratorium raksasa, dimana semua perasaan yang ada dapat diletakkan di bawah mikroskop, sebentar kemudian komputer dapat menjabarkan unsur-unsur pembentuknya... Gadis itu mengeluarkan resep :
“Sayang, kamu harus lebih berusaha lagi. Cintamu padaku masih berada di taraf yang paling rendah...”  Gadis itu seenaknya mengayun-ayunkan jemari lentiknya saat berbicara.
“Pokoknya! Haahh???” Itulah saat terakhir laki-laki itu pernah cemburu pada kekasihnya.

“Sayang, ini hanya sebuah gigi...?” Laki-laki itu penuh keheranan.
Kamu bilang hanya sebuah gigi’?! Bagaimana dengan lubang ini?”
“Lubang apa, sayang ? Lubang yang mana?”
“Lihat baik-baik... Ini adalah lubang hitam!” Te menarik rahangnya ke bawah kuat-kuat, membiarkan gravitasi di dalamnya menarik kekasih itu bangkit dan melongok-longokkan pandangannya ke dalam. Orang-orang di sekitarnya seperti menyaksikan sebuah sirkus, saat adegan manusia memasukkan kepalanya ke dalam mulut singa. Laki-laki itu termundur kembali ke kursinya. Ia terkekeh. Ternyata kini ia memiliki seorang kekasih ompong... Singa ompong?
“Pacarku ompong...? Tidak apa-apa. Itu pilihanmu.”  Pria itu tidak terlalu kecewa.
“Apa? Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!” Entah mengapa kejadian ini membuat mereka sedemikian berlebihan. Dan Te semakin sengaja memamer-mamerkan ompong itu di hadapan kekasihnya. Pada dasarnya baik laki-laki maupun wanita memang tidak pernah dewasa... 

Te terbangun dari mimpinya sebelum menyentuh dasar. Di tengah kegelapan yang ia hafal terhuyung-huyung berlari ke kamar mandi, satu per satu jiwanya terkumpul kemudian. Di hadapan cermin, besar-besar dibuka mulutnya, dimana terdapat gigi-giginya... putih berbukit-bukit... dan lubang gelap bekas gerahamnya yang tercabut... lubang hitam merangkulnya... Tak peduli seberapa condong ia berupaya memperoleh sudut bayangan yang tepat di depan cermin,  ia tidak mampu melihat dasar dari lubang itu. Selaput liur menggenang di atasnya, bagai kabut yang menutupi pandangan. Ia teringat kali pertama saat geraham pertamanya dicabut, duduk di atas kursi praktek dokter giginya... Bibirnya terasa menebal, bagai seorang petinju di pojok ring menanti bel ronde berikutnya. Teng! Lingkaran cahaya menatapnya, tang gigi itu sudah berada di udara, entah sudah berapa lama ia membuka mulut, tanpa satu patah kata pun. Semua terjadi tanpa rasa sakit. Sesaat kemudian, tang itu terlihat lagi dengan geraham dalam cengkramannya. Sang dokter dengan bangga mencoba memperlihatkan, betapa sempurnanya gigi itu telah tercerabut, ia bahkan memintanya untuk dijadikan model bagi para mahasiswanya, Te menggeleng lemah. Dokter itu menunjuk sebuah celah kecil pada ujung bawah akar giginya, sayup-sayup dikatakan bahwa di situlah terletak ujung salah satu urat syaraf...  Zzzng...! Sekejap ngilu merasuki relung-relung tubuh Te,  menggeletar sel-sel otak... Sebuah kabel yang berjuntai-juntai dengan percikan-percikan api pada ujungnya... Mahkota telah tercabut darinya...  Bersama akarnya.. Sebuah rasa menjungkirkan kendali dirinya... Ngilu itu masih menyayat. Te memandangi lubang hitam yang menganga, begitu gelap, tak ada cahaya yang lolos ke dalam. Kini syarafnya yang telanjang tanpa pelindung, mungkin tengah terkulai. Sebuah magnet di medan gulita. Te membayangkan apa saja bisa terserap  ke sana. Mungkin juga semestanya?

Te tak berusaha menutupi air di matanya. Laki-laki di hadapannya duduk di kursi terdakwa tanpa mengerti mengapa ia harus berada di sana. Di sekitarnya para juri tengah berbisik-bisik. Laki-laki itu sebenarnya orang baik, mencoba mengurut dosa-dosanya, kapan pernah meminta kekasihnya itu untuk memasang kawat gigi? Yang ia ingat hanya salah satu adegan romantis, bukan picisan, wajah Te yang berada begitu dekat dengan dirinya...
Tawanya menggoda sekali. Gigi itu sekali-sekali menyembul keluar, seperti seorang gadis dengan rok satin yang tersingkap angin, pahanya sekali-sekali terlihat. Gigi itu berada paling depan. Sebuah gigi muncul memimpin yang lain, semacam aksen dalam deretannya. Ia yang membuat senyum itu sedemikian spesifik, senyum yang terekam dalam benak laki-laki itu, yang mendorong dirinya untuk mencium sang kekasih... Kala itu mereka benar-benar bahagia. Sebelum ada masalah ‘gigi-gigian’ ini, satu gigi terdepan itu benar-benar terlihat...seksi.

Sekarang semuanya serba aneh. Gadis di hadapannya lebih ‘monyong’ dari biasanya. Dan itu hanya terjadi kalau mereka sedang bertengkar. Sesuatu yang sangat indah baginya pada satu waktu dapat menjadi sesuatu yang sangat mengerikan pada waktu-waktu lain. Semua adalah kesalahan Te kalau sekarang laki-laki itu akhirnya mulai sadar bahwa kekasihnya memang membutuhkan kawat gigi. Namun ia tak mengungkapkannya.
“Sayang, aku tidak berpikir kamu membutuhkannya. Tapi sudahlah...”  laki-laki itu mulai terlihat acuh, mengangkat tangannya memanggil pelayan. Te tak bisa menerimanya. Semua orang dapat membaca kekalutan di wajah itu. Puh! Seolah persoalan seluruh jagad raya saja yang dipikulnya!
“Munafik!  Katakan saja kamu juga  ingin aku pakai kawat gigi!” Walau Te sedikit lupa, siapa yang paling bertanggung jawab membulatkan tekadnya untuk memasang kawat gigi yang menyebabkan tercabutnya dua geraham bawah sehatnya yang tak berdosa itu...

Pandangannya kembali mengabut. Ia teringat sebuah hari di mana perutnya tidak pernah semulas itu. Sudah lama Te tidak  memiliki masalah dengan buang air besar. Semenjak masa kecilnya yang dipenuhi dosa-dosa,  diam-diam membuang semangkuk sayur yang disediakan ibu untuknya, setiap hari, kadang pahit kadang asem - benda-benda berwarna hijau yang tak sanggup ditelannya di tenggorokkan. Berkat doa ibu dan omelan panjangnya memaksa ia untuk mensusupi helai demi helai yang lecek dan becek itu ke dalam mulutnya, Te kecil menatap langit-langit, air menggenang di matanya, mencoba meniadakan rasa apapun di lidahnya, menelannya bulat-bulat. Dan semenjak itu ia selalu berhasil melakukannya hingga dewasa, menelannya bulat-bulat demi manfaat, demi keuntungan-keuntungan yang akan diperolehnya, demi masa tuanya yang tidak pernah dibayangkannya, tanpa mengenal selera, dilakukannya dengan tangan dingin. Dan banyak hal di dalam hidupnya pun dijalani tanpa rasa... ‘Bolehkah menjalani hal-hal benar dengan alasan yang salah?’ Namun di hari itu ia benar-benar mulas, tak pernah semulas ini, dan di kamar mandi itu Te tidak juga berhasil menuntaskannya. Di atas kloset, Te merasa hanya waktu saja yang berhasil dibuangnya. Ia mulai kehilangan akal. Dibolak-baliknya tumpukan majalah-majalah kedaluarsa di samping, untuk sesaat lupa akan kesulitan yang tengah dihadapinya. Di sana berulang-ulang ia melihat, wajah-wajah pucat berpulasan pelangi, tubuh-tubuh kencang, rambut-rambut gemilang berkobaran, senyum-senyum sempurna: tertawa sempurna, terkatup sempurna... Wajah-wajah penakluk! Tiba-tiba ia merasakan perutnya berkerut,  bergejolak semakin tak keruan, Te terus membolak-balik majalah itu dengan kasar, mengecek kembali tanggal terbitannya, bahwa majalah yang sama sudah pernah dibacanya, kegelisahan akan ketidakberadaan dirinya di sana (mungkin karena dirinya sedang berada di sini, di ‘kamar kecil’ ini...)? Untuk pertama kalinya Te menyadari, ada yang salah dengan dirinya... selain juga masalah akan buang air besar itu. Tiba-tiba ia benar-benar merasa kurang banyak menelan sayur!

Laki-laki itu telah menghabiskan separuh cangkir barunya.
“Oke, aku pernah bilang gigi yang di depan itu seksi. Karena aku pikir memang seksi.” 
“Nah! Nyindir kan? Kamu selalu membuat aku merasa tidak sempurna. Kamu tidak pernah bilang aku cantik!”
“Kalo tidak cantik mana mungkin aku mau?”
Itu dia! Kamu ingin aku cantik, tapi kamu tidak mau bertanggung jawab kalo untuk itu aku harus mencabut empat gigiku yang sehat ini!? Dua atas, dua bawah...”
“Demi Tuhan, bukankah di luar sana ada sejuta perempuan memakai kawat gigi tanpa ribut dengan pacarnya? Bahkan ada yang menarik wajahnya, atau menanam silikon di dadanya?”
“Sudah terima saja gigi ini! Kenapa rumit-rumit, sih?
“Kamu yang rumit!”

Seperti juga perut yang mulas, kilasan-kilasan itu juga berlalu begitu saja. Te terjebak. Ia mulai merasa alasan itu terlalu dangkal untuknya. Ia mulai mencari-cari hal lain untuk menjelaskan keberadaannya sekarang, sebuah ulasan yang lebih dalam tentang seorang gadis ompong! Namun di tengah jalan pembenaran itu,  ia teringat  akan mimpi dirinya yang jatuh ke dalam lubang... Satu persatu bagian tubuhnya rontok... terurai... Hingga tinggallah rasa itu sendirian melayang-layang mengembara tanpa tubuh...  Satu titik rasa, tak bisa retak, tak bisa hilang...

Laki-laki di hadapannya cuma menggeleng-gelengkan kepala. Ia telah menjadi terpidana mati atas pengadilan hukum sebab-akibat yang tak jelas asal muasalnya. Dari balik kaca gedung di seberang sana, seseorang dapat melihat dengan samar-samar, betapa seorang perempuan berdiri sambil menunjuk-nunjuk hidung laki-laki yang duduk di depannya, lalu tiba-tiba menunjuk-nunjuk giginya sendiri. Kemudian yang laki-laki terlihat mengangkat tangan lalu tak lama menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ini aneh. Ini bukan kamu...” Laki-laki itu memalingkan wajahnya...

Heran... Kamu biasanya selalu tau dirimu sempurna. Tiba-tiba suatu hari kamu bangun dengan perasaan tidak nyaman, terburu-buru membuat keputusan. Hari ini kamu ragu dan tidak bisa kembali pada hari dimana kamu memutuskannya. Kamu biasanya batu karang di tengah lautan. Suatu hari speed boat kecil menabrakmu, walau tak bisa menghancurkanmu, sesuatu telah melubangi dirimu. Membuat kamu merasa tidak utuh. Bukan ombak biasa. Juga bukan karena speed boat, perasaan yang membuatmu rapuh.  Ini pasti bukan tentang gigi...

Dan mereka telah melupakan sunset yang ditunggu-tunggu. Ah matahari... Betapa para ilmuwan itu berusaha keras untuk mengatakan bahwa matahari tidak sespesial itu, ia bukanlah bintang raksasa seperti yang dikira orang, ia hanyalah bintang yang terdekat di depan mata. Di teras ini, sealunan musik berlibur memanjakan telinga menghadirkan ilusi akan sebuah keringanan hidup. Pohon kelapa mencuat di tengah lantai beton, terbayang sebuah upaya cukup serius untuk mengadakan mahkluk itu berada di atas sini dan hidup. Dua buah tiang membingkai air menggerucuk bagai selembar tirai yang membias cahaya sore, seusap pelangi ada di sana kalau seseorang benar-benar mengamatinya. Bayangan memanjang cangkir-cangkir teh yang telah diisi kembali, aromanya yang selalu membuat mereka ingin kembali ke teras ini, sebuah tradisi lampau yang kembali dikemas, masa lalu pun hadir untuk dijual. Ah, betapa segalanya memang semakin mudah saja dihadirkan. Seperti kota ini, apa yang tak mungkin dihadirkan di sini? Seorang perempuan dewasa yang ompong dua dengan  dua belah gigi di dalam genggamannya, itu pun biasa saja.
“Kalau memang jagad raya ini telah memetakan setiap titiknya hingga tak ada yang luput dari takdir… asal kau tau gigi ini, di atas  telapak ini... adalah kehendakku. Terimalah gigi ini! Hanya itu rahasia yang ingin kubagi denganmu.”

Sebuah gigi di atas telapak, di tengah persilangan garis-garis tangan...

Laki-laki itu menatap kosong. Setiap kali ia merasa terlalu mengenal kekasihnya, setiap kali itu juga ia menggelinding di lereng yang sama. Kamu dan kehendakmu, apakah ada yang baru?
“Kamu sensitif sekali hari ini...  PMS?” 
Mengerti kamu adalah sebuah kesia-siaan...

Apa? Tentu saja aku sensitif. Aku memiliki ‘syaraf yang terbuka’...” kembali Te menunjuk-nunjuk lubang hitam bekas giginya. Kernyitan di dahi laki-laki itu semakin mengeras, mungkin masih akan membekas berjam-jam berikutnya.
“Kenapa kamu selalu bicara dengan cara yang tidak bisa dimengerti? Katakan saja apa maksud kamu, kenapa harus berputar-putar? Apa namanya... metafor?” Gadis itu sama tertegunnya. Sementara mereka telah empat tahun berpacaran...
Ada apa dengan metafora? Kenapa kamu pikir semua kata-kata bermaksud yang sebulat-bulatnya? Memang bagaimana kamu membaca kitab suci selama ini? Bukankah semua ditulis dengan cara itu?”
Astaga! Apakah masalah gigi juga dibahas dalam kitab suci?

Sementara sudah sejak tadi Te merasa terpental dari kursinya. Ia sudah tidak ada lagi di tempat. Ia rindu saat-saat nyaman di atas kursi otomatik di ruang praktek dokter giginya, yang kini tidak pernah ditemukannya lagi, di tempat yang sama sekalipun. Tak ada yang dapat menjawab pertanyaan terakhirnya yang tak sanggup  dilontarkannya pula. Gadis itu hanya putus asa terhadap kata. Ia hanya tak sanggup menjelaskannya, air matanya terus menetes,
Ini bukan tentang gigi!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar