Rabu, 11 Juli 2012

Sebuah Gigi di Tengah Persilangan Garis Tangan



Diawali sebuah gigitan kecil di gusi basahnya, pss… Bius setempat mematikan sebagian rasa namun mengentalkan rasa yang lain. Te terbangun di sebuah kesadaran. Menyusuri dinding putih, sebuah rak  kaca, cetakan-cetakan gigi dari gipsum dengan nama-nama pemiliknya, berderet, bertumpuk, terikat dalam keadaan terkatup tak sempurna...
Buka mulutmu lebih lebar lagi... tahan sebentar...” Perempuan itu masih menganga. Menatap cahaya kuat di hadapnya yang sejak tadi menyoroti interior mulutnya. Sekujur tubuh masih bertegang, meyakinkan diri bahwa hampir usai untuk saat ini. Bahwa bius tidak mengebalkan pikirannya.
“Gigit kapasnya yang kencang… Satu jam lagi boleh buang ludah,” suara yang selalu terdengar ramah berlebihan, berkata-kata seolah tidak ada yang aneh dengan menggigit kapas selama satu jam? Bahwa Te bukanlah pasien pada umumnya. Bahwa sang dokter adalah teman berdiskusi yang baik bahkan sejak ia bergigi susu. Bahkan kursi itu adalah favoritnya! Dimana akan ia istirahatkan sejenak pikiran itu, dan pertanyaan tinggal ia lemparkan begitu saja seperti kulit-kulit kacang dimana sang dokter dengan gesit menangkapnya. Berdua mereka akan membuat antrian panjang melingkar-lingkar di ruang tunggu di luar. Biasanya.
Hmm, hari ini kamu stress sekali, Te? Gigimu goyah semua. Mudah saja saya mencabut satu gerahammu tadi…” Kadang dokter itu pula yang pertama kali memastikan keadaan dirinya, bahwa Te sedang bergembira, atau Te sedang tertekan. Ia bilang segala sesuatu dapat terbaca hanya dengan melihat kondisi geligi di mulut. Barangkali gempa atau tsunami pun bisa ia baca disana. Sang pasien hanya mendelik-delikkan mata, lebih banyak dari biasanya. Mengingat udara dalam lapisan liur yang membungkam mulutnya yang masih harus ia simpan selama satu jamOh pipi yang kian menggembung, Te ingin terbang bersamanya... Kursi ajaib itu pun merendah otomatis, mendaratkan Te kembali ke bumi. Ini kali kedua ia mendapati geraham sehat di atas telapaknya. 
*
Laki-laki itu berbinar mendapati dua kepalan yang diajukan kekasih di hadapannya. Wajah gadis itu pun nampak begitu misterius, tak ada laki-laki di dunia yang sanggup menyelesaikan puzzle di wajah-wajah seperti itu. Walau segalanya nampak sempurna. A table for two, a table with a view. Di teras ini, beberapa menit lagi puluhan matahari akan terbenam dari kaca-kaca gedung sekitarnya, pantul-memantul. Pada ketinggian ini kemacetan lalu lintas pun dapat dinikmati selayaknya pemandangan di perkebunan teh. Walau mereka harus membayar jumlah yang tak lazim untuk dua cangkir teh dari daun teh yang konon dipetik dari Afrika Selatan, dan konon dapat mengobati insomnia. Konon wanita hanya butuh dimengerti...
Aku pilih yang kiri.”  Laki-laki itu tercucuk mengikuti permainannya. Te pun membuka kepalan tangan kirinya dengan fantastis. Diawali dengan kepakan jari kelingkingnya yang bengkok, diikuti jari manis, jari tengah, telunjuk, berikut jempol, dan…
Sebuah gigi di atas telapak Di tengah persilangan garis-garis tangan...
Sebuah gigi sebatang kara, tidak pada tempatnya. Membujur kaku, diserang ruang. Gigi  tidak sekecil yang dibayangkan, memiliki tubuh langsing semampai tertanam di balik gusi. Akar gigi. Selama ini yang terlihat hanyalah permukaannya saja. Mahkota gigi. Pria itu tercekat, diangkatnya gigi itu ke udara.
“Selamat! Kau boleh bawa pulang geraham kiri bawahku yang sehat ini!” akhirnya Te memberi sedikit penjelasan.
“Ini untukku?” ada jeda membelah bibir laki-laki itu. Ia pun  merasa diliputi oleh suatu selubung keunikan, bahwa barangkali hanya dirinyalah di antara teman-teman sekantornya, atau bahkan di antara laki-laki di dunia ini yang menyimpan gigi seorang kekasihnya yang masih hidup. Barangkali perasaan yang sama pada seorang pemburu yang meronce gigi binatang-binatang yang berhasil ditaklukkannya di hutan sebagai kalung di lehernya? Glek. Sesaat kemudian ia tutup kembali pikirannya yang meliar tadi. Betapa ngerinya menyimpan sebuah gigi milik kekasihnya? Teror macam apa yang ditawarkan kepadanya?
“Kenapa kamu mencabut gigimu, sayang?” suara laki-laki itu terdengar tenang, walau kerut-kerut di dahinya berbicara lain. Te terkejut mendapati kekasihnya yang seperti tidak tahu menahu mengenai rencana besar yang ada di kepalanya selama ini. Seolah era telepati telah dimulai semenjak mereka mulai berpacaran.
“Masa tidak tau? Aku harus cabut empat gigi. Aku butuh ruang gerak agar bisa mengatupkan gigi-gigiku dengan sempurna, untuk bebas tersenyum dengan wajah simetris.” Betapa anehnya kalimat itu sekalipun mau diulang dua kali. Dan Te tak memberinya kesempatan untuk mencerna kalimat itu,
“Sampai hari ini aku sudah cabut dua. Satu untukku, satu untukmu. Kalau tadi kau pilih tangan kanan, kau akan mendapatkan geraham kanan bawahku” Te menguak tangan kanannya. Kejutan kedua. Hati-hati pemuda itu pun mengangkat geraham kanan itu mendekati wajahnya, dengan geraham lain pada tangan yang lain. Sepasang gigi bersih nan sehat dengan tungkai telanjang... jasad yang terkulai tak bernyawa (apakah mereka pernah punya?). ‘Satu untukku, satu untukmu’, di luar sini tak membuatnya menjadi bagian dari siapapun...

Sebuah rongga di dalam mulutnya mulai berdenyut. Te terngiang akan semalam mimpinya, begitu nyata, seolah pernah saja terjadi beberapa tahun yang lalu, pada hari-hari dimana semua yang nyata dengan yang tidak nyata hanyalah sekedipan mata... Te kanak-kanak dengan kostum kelincinya... Berlari-larian di atas bukit berbunga... Berloncatan ke sana kemari seperti layaknya anak kelinci... Tiba-tiba rintik-rintik salju berjatuhan dari langit. Sekejap saja bukit itu diliputi salju putih. Te kelinci semakin saja kegirangan! Sambil bernyanyi-nyanyi ia menaik turuni bukit-bukit... traaalala..lala..lala... Begitu bersemangatnya hingga ia tidak memperhatikan jurang menanti di hadapannya. Di dalam kebahagiaannya, di tengah lompatannya yang terakhir, yang tertinggi, yang terjauh, tiba-tiba ia menoleh ke bawah... Aahkhh!!   Salju itu lenyap. Sebuah lubang hitam merangkulnya! Dan  Te kelinci pun terjatuh ke dalam lorong yang tidak pernah ada dasarnya... Ia memberontak,  mencoba mengerahkan segala daya upaya untuk membuatnya berbalik ke arah tempat pertama kali ia terjatuh, namun ia tidak pernah mencapainya. Bibir sumur itu juga telah membumbung tinggi, jauh meninggalkannya pada saat bersamaan ketika ia mulai jatuh... Dasar dan bibir sumur... keduanya  meninggalkan dirinya... di tengah-tengah... “Aaaahkhh!!”

“Sayang, aku tidak bisa menerima hadiah ini,” suara itu menggetarkan lamunannya. Setetes embun menggelincir dari mata Te. Laki-laki di hadapannya telah dikutuk karena tidak memahami perasaan wanita. Seorang pelayan mengurungkan niatnya untuk mengisi cangkir setengah kosong yang ada di hadapan gadis itu. Dan kini mata-mata para pemilik kuping-kuping di sekitarnya pun mulai malu-malu menoleh. Laki-laki itu merasa malu melihat dirinya di mata mereka. Ia menjadi jengkel ketika mulai merasa bersalah atas apa yang tidak pernah diperbuatnya. Setetes air mata, hakim keji sok berkuasa! Padahal Te yang ia tahu adalah gadis yang paling rasional, tidak pernah menangis di bioskop, tidak mau dibayari minum secangkir pun, tidak pernah menelponnya saat jam istirahat, tidak mau tau tentang teman-teman perempuan pacarnya, dan terkadang sedikit tidak berbelas!  Terlintas suatu masa yang pernah mereka lalui, kala ia terbakar api cemburu terhadap teman pria sekantor Te yang selalu mengajaknya makan siang...
“Kenapa kamu?” Te terheran-heran mendapati pacarnya berbicara megap-megap saat laki-laki itu justru mencoba setenang mungkin.
“Pokoknya!  Aku gak suka!  Kamu pergi sama dia! Pokoknya!”  Te melihat, kekasih itu terlalu banyak mengambil nafas, paru-parunya hampir meledak tersesaki oksigen.
“Kamu cemburu?” Alis mata sok kejut dan huruf U yang masih tertinggal di bibir Te, membuat  laki-laki itu heran mengapa wajah sedemikian menjengkelkannya bisa menjadi kekasihnya.
“Cemburu?! Tidak! Aku hanya tidak suka! Pokoknya!” Ia meraup seluruh oksigen di ruangan, berjalan mondar-mandir, tidak pernah ada  tempat yang nyaman untuk berdiri.
“Aneh... Cemburu itu apa ya?” Te menatapnya penuh analisa. Separuh jemarinya melintangi mulut. Sebuah kesimpulan di dalam pertanyaannya. Jantung laki-laki itu hampir copot menghadapi situasi macam ini. Seolah-olah mereka berdua adalah kelinci percobaan di sebuah laboratorium raksasa, dimana semua perasaan yang ada dapat diletakkan di bawah mikroskop, sebentar kemudian komputer dapat menjabarkan unsur-unsur pembentuknya... Gadis itu mengeluarkan resep :
“Sayang, kamu harus lebih berusaha lagi. Cintamu padaku masih berada di taraf yang paling rendah...”  Gadis itu seenaknya mengayun-ayunkan jemari lentiknya saat berbicara.
“Pokoknya! Haahh???” Itulah saat terakhir laki-laki itu pernah cemburu pada kekasihnya.

“Sayang, ini hanya sebuah gigi...?” Laki-laki itu penuh keheranan.
Kamu bilang hanya sebuah gigi’?! Bagaimana dengan lubang ini?”
“Lubang apa, sayang ? Lubang yang mana?”
“Lihat baik-baik... Ini adalah lubang hitam!” Te menarik rahangnya ke bawah kuat-kuat, membiarkan gravitasi di dalamnya menarik kekasih itu bangkit dan melongok-longokkan pandangannya ke dalam. Orang-orang di sekitarnya seperti menyaksikan sebuah sirkus, saat adegan manusia memasukkan kepalanya ke dalam mulut singa. Laki-laki itu termundur kembali ke kursinya. Ia terkekeh. Ternyata kini ia memiliki seorang kekasih ompong... Singa ompong?
“Pacarku ompong...? Tidak apa-apa. Itu pilihanmu.”  Pria itu tidak terlalu kecewa.
“Apa? Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!” Entah mengapa kejadian ini membuat mereka sedemikian berlebihan. Dan Te semakin sengaja memamer-mamerkan ompong itu di hadapan kekasihnya. Pada dasarnya baik laki-laki maupun wanita memang tidak pernah dewasa... 

Te terbangun dari mimpinya sebelum menyentuh dasar. Di tengah kegelapan yang ia hafal terhuyung-huyung berlari ke kamar mandi, satu per satu jiwanya terkumpul kemudian. Di hadapan cermin, besar-besar dibuka mulutnya, dimana terdapat gigi-giginya... putih berbukit-bukit... dan lubang gelap bekas gerahamnya yang tercabut... lubang hitam merangkulnya... Tak peduli seberapa condong ia berupaya memperoleh sudut bayangan yang tepat di depan cermin,  ia tidak mampu melihat dasar dari lubang itu. Selaput liur menggenang di atasnya, bagai kabut yang menutupi pandangan. Ia teringat kali pertama saat geraham pertamanya dicabut, duduk di atas kursi praktek dokter giginya... Bibirnya terasa menebal, bagai seorang petinju di pojok ring menanti bel ronde berikutnya. Teng! Lingkaran cahaya menatapnya, tang gigi itu sudah berada di udara, entah sudah berapa lama ia membuka mulut, tanpa satu patah kata pun. Semua terjadi tanpa rasa sakit. Sesaat kemudian, tang itu terlihat lagi dengan geraham dalam cengkramannya. Sang dokter dengan bangga mencoba memperlihatkan, betapa sempurnanya gigi itu telah tercerabut, ia bahkan memintanya untuk dijadikan model bagi para mahasiswanya, Te menggeleng lemah. Dokter itu menunjuk sebuah celah kecil pada ujung bawah akar giginya, sayup-sayup dikatakan bahwa di situlah terletak ujung salah satu urat syaraf...  Zzzng...! Sekejap ngilu merasuki relung-relung tubuh Te,  menggeletar sel-sel otak... Sebuah kabel yang berjuntai-juntai dengan percikan-percikan api pada ujungnya... Mahkota telah tercabut darinya...  Bersama akarnya.. Sebuah rasa menjungkirkan kendali dirinya... Ngilu itu masih menyayat. Te memandangi lubang hitam yang menganga, begitu gelap, tak ada cahaya yang lolos ke dalam. Kini syarafnya yang telanjang tanpa pelindung, mungkin tengah terkulai. Sebuah magnet di medan gulita. Te membayangkan apa saja bisa terserap  ke sana. Mungkin juga semestanya?

Te tak berusaha menutupi air di matanya. Laki-laki di hadapannya duduk di kursi terdakwa tanpa mengerti mengapa ia harus berada di sana. Di sekitarnya para juri tengah berbisik-bisik. Laki-laki itu sebenarnya orang baik, mencoba mengurut dosa-dosanya, kapan pernah meminta kekasihnya itu untuk memasang kawat gigi? Yang ia ingat hanya salah satu adegan romantis, bukan picisan, wajah Te yang berada begitu dekat dengan dirinya...
Tawanya menggoda sekali. Gigi itu sekali-sekali menyembul keluar, seperti seorang gadis dengan rok satin yang tersingkap angin, pahanya sekali-sekali terlihat. Gigi itu berada paling depan. Sebuah gigi muncul memimpin yang lain, semacam aksen dalam deretannya. Ia yang membuat senyum itu sedemikian spesifik, senyum yang terekam dalam benak laki-laki itu, yang mendorong dirinya untuk mencium sang kekasih... Kala itu mereka benar-benar bahagia. Sebelum ada masalah ‘gigi-gigian’ ini, satu gigi terdepan itu benar-benar terlihat...seksi.

Sekarang semuanya serba aneh. Gadis di hadapannya lebih ‘monyong’ dari biasanya. Dan itu hanya terjadi kalau mereka sedang bertengkar. Sesuatu yang sangat indah baginya pada satu waktu dapat menjadi sesuatu yang sangat mengerikan pada waktu-waktu lain. Semua adalah kesalahan Te kalau sekarang laki-laki itu akhirnya mulai sadar bahwa kekasihnya memang membutuhkan kawat gigi. Namun ia tak mengungkapkannya.
“Sayang, aku tidak berpikir kamu membutuhkannya. Tapi sudahlah...”  laki-laki itu mulai terlihat acuh, mengangkat tangannya memanggil pelayan. Te tak bisa menerimanya. Semua orang dapat membaca kekalutan di wajah itu. Puh! Seolah persoalan seluruh jagad raya saja yang dipikulnya!
“Munafik!  Katakan saja kamu juga  ingin aku pakai kawat gigi!” Walau Te sedikit lupa, siapa yang paling bertanggung jawab membulatkan tekadnya untuk memasang kawat gigi yang menyebabkan tercabutnya dua geraham bawah sehatnya yang tak berdosa itu...

Pandangannya kembali mengabut. Ia teringat sebuah hari di mana perutnya tidak pernah semulas itu. Sudah lama Te tidak  memiliki masalah dengan buang air besar. Semenjak masa kecilnya yang dipenuhi dosa-dosa,  diam-diam membuang semangkuk sayur yang disediakan ibu untuknya, setiap hari, kadang pahit kadang asem - benda-benda berwarna hijau yang tak sanggup ditelannya di tenggorokkan. Berkat doa ibu dan omelan panjangnya memaksa ia untuk mensusupi helai demi helai yang lecek dan becek itu ke dalam mulutnya, Te kecil menatap langit-langit, air menggenang di matanya, mencoba meniadakan rasa apapun di lidahnya, menelannya bulat-bulat. Dan semenjak itu ia selalu berhasil melakukannya hingga dewasa, menelannya bulat-bulat demi manfaat, demi keuntungan-keuntungan yang akan diperolehnya, demi masa tuanya yang tidak pernah dibayangkannya, tanpa mengenal selera, dilakukannya dengan tangan dingin. Dan banyak hal di dalam hidupnya pun dijalani tanpa rasa... ‘Bolehkah menjalani hal-hal benar dengan alasan yang salah?’ Namun di hari itu ia benar-benar mulas, tak pernah semulas ini, dan di kamar mandi itu Te tidak juga berhasil menuntaskannya. Di atas kloset, Te merasa hanya waktu saja yang berhasil dibuangnya. Ia mulai kehilangan akal. Dibolak-baliknya tumpukan majalah-majalah kedaluarsa di samping, untuk sesaat lupa akan kesulitan yang tengah dihadapinya. Di sana berulang-ulang ia melihat, wajah-wajah pucat berpulasan pelangi, tubuh-tubuh kencang, rambut-rambut gemilang berkobaran, senyum-senyum sempurna: tertawa sempurna, terkatup sempurna... Wajah-wajah penakluk! Tiba-tiba ia merasakan perutnya berkerut,  bergejolak semakin tak keruan, Te terus membolak-balik majalah itu dengan kasar, mengecek kembali tanggal terbitannya, bahwa majalah yang sama sudah pernah dibacanya, kegelisahan akan ketidakberadaan dirinya di sana (mungkin karena dirinya sedang berada di sini, di ‘kamar kecil’ ini...)? Untuk pertama kalinya Te menyadari, ada yang salah dengan dirinya... selain juga masalah akan buang air besar itu. Tiba-tiba ia benar-benar merasa kurang banyak menelan sayur!

Laki-laki itu telah menghabiskan separuh cangkir barunya.
“Oke, aku pernah bilang gigi yang di depan itu seksi. Karena aku pikir memang seksi.” 
“Nah! Nyindir kan? Kamu selalu membuat aku merasa tidak sempurna. Kamu tidak pernah bilang aku cantik!”
“Kalo tidak cantik mana mungkin aku mau?”
Itu dia! Kamu ingin aku cantik, tapi kamu tidak mau bertanggung jawab kalo untuk itu aku harus mencabut empat gigiku yang sehat ini!? Dua atas, dua bawah...”
“Demi Tuhan, bukankah di luar sana ada sejuta perempuan memakai kawat gigi tanpa ribut dengan pacarnya? Bahkan ada yang menarik wajahnya, atau menanam silikon di dadanya?”
“Sudah terima saja gigi ini! Kenapa rumit-rumit, sih?
“Kamu yang rumit!”

Seperti juga perut yang mulas, kilasan-kilasan itu juga berlalu begitu saja. Te terjebak. Ia mulai merasa alasan itu terlalu dangkal untuknya. Ia mulai mencari-cari hal lain untuk menjelaskan keberadaannya sekarang, sebuah ulasan yang lebih dalam tentang seorang gadis ompong! Namun di tengah jalan pembenaran itu,  ia teringat  akan mimpi dirinya yang jatuh ke dalam lubang... Satu persatu bagian tubuhnya rontok... terurai... Hingga tinggallah rasa itu sendirian melayang-layang mengembara tanpa tubuh...  Satu titik rasa, tak bisa retak, tak bisa hilang...

Laki-laki di hadapannya cuma menggeleng-gelengkan kepala. Ia telah menjadi terpidana mati atas pengadilan hukum sebab-akibat yang tak jelas asal muasalnya. Dari balik kaca gedung di seberang sana, seseorang dapat melihat dengan samar-samar, betapa seorang perempuan berdiri sambil menunjuk-nunjuk hidung laki-laki yang duduk di depannya, lalu tiba-tiba menunjuk-nunjuk giginya sendiri. Kemudian yang laki-laki terlihat mengangkat tangan lalu tak lama menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ini aneh. Ini bukan kamu...” Laki-laki itu memalingkan wajahnya...

Heran... Kamu biasanya selalu tau dirimu sempurna. Tiba-tiba suatu hari kamu bangun dengan perasaan tidak nyaman, terburu-buru membuat keputusan. Hari ini kamu ragu dan tidak bisa kembali pada hari dimana kamu memutuskannya. Kamu biasanya batu karang di tengah lautan. Suatu hari speed boat kecil menabrakmu, walau tak bisa menghancurkanmu, sesuatu telah melubangi dirimu. Membuat kamu merasa tidak utuh. Bukan ombak biasa. Juga bukan karena speed boat, perasaan yang membuatmu rapuh.  Ini pasti bukan tentang gigi...

Dan mereka telah melupakan sunset yang ditunggu-tunggu. Ah matahari... Betapa para ilmuwan itu berusaha keras untuk mengatakan bahwa matahari tidak sespesial itu, ia bukanlah bintang raksasa seperti yang dikira orang, ia hanyalah bintang yang terdekat di depan mata. Di teras ini, sealunan musik berlibur memanjakan telinga menghadirkan ilusi akan sebuah keringanan hidup. Pohon kelapa mencuat di tengah lantai beton, terbayang sebuah upaya cukup serius untuk mengadakan mahkluk itu berada di atas sini dan hidup. Dua buah tiang membingkai air menggerucuk bagai selembar tirai yang membias cahaya sore, seusap pelangi ada di sana kalau seseorang benar-benar mengamatinya. Bayangan memanjang cangkir-cangkir teh yang telah diisi kembali, aromanya yang selalu membuat mereka ingin kembali ke teras ini, sebuah tradisi lampau yang kembali dikemas, masa lalu pun hadir untuk dijual. Ah, betapa segalanya memang semakin mudah saja dihadirkan. Seperti kota ini, apa yang tak mungkin dihadirkan di sini? Seorang perempuan dewasa yang ompong dua dengan  dua belah gigi di dalam genggamannya, itu pun biasa saja.
“Kalau memang jagad raya ini telah memetakan setiap titiknya hingga tak ada yang luput dari takdir… asal kau tau gigi ini, di atas  telapak ini... adalah kehendakku. Terimalah gigi ini! Hanya itu rahasia yang ingin kubagi denganmu.”

Sebuah gigi di atas telapak, di tengah persilangan garis-garis tangan...

Laki-laki itu menatap kosong. Setiap kali ia merasa terlalu mengenal kekasihnya, setiap kali itu juga ia menggelinding di lereng yang sama. Kamu dan kehendakmu, apakah ada yang baru?
“Kamu sensitif sekali hari ini...  PMS?” 
Mengerti kamu adalah sebuah kesia-siaan...

Apa? Tentu saja aku sensitif. Aku memiliki ‘syaraf yang terbuka’...” kembali Te menunjuk-nunjuk lubang hitam bekas giginya. Kernyitan di dahi laki-laki itu semakin mengeras, mungkin masih akan membekas berjam-jam berikutnya.
“Kenapa kamu selalu bicara dengan cara yang tidak bisa dimengerti? Katakan saja apa maksud kamu, kenapa harus berputar-putar? Apa namanya... metafor?” Gadis itu sama tertegunnya. Sementara mereka telah empat tahun berpacaran...
Ada apa dengan metafora? Kenapa kamu pikir semua kata-kata bermaksud yang sebulat-bulatnya? Memang bagaimana kamu membaca kitab suci selama ini? Bukankah semua ditulis dengan cara itu?”
Astaga! Apakah masalah gigi juga dibahas dalam kitab suci?

Sementara sudah sejak tadi Te merasa terpental dari kursinya. Ia sudah tidak ada lagi di tempat. Ia rindu saat-saat nyaman di atas kursi otomatik di ruang praktek dokter giginya, yang kini tidak pernah ditemukannya lagi, di tempat yang sama sekalipun. Tak ada yang dapat menjawab pertanyaan terakhirnya yang tak sanggup  dilontarkannya pula. Gadis itu hanya putus asa terhadap kata. Ia hanya tak sanggup menjelaskannya, air matanya terus menetes,
Ini bukan tentang gigi!”





Minggu, 24 Juni 2012

Senja yang Tidak Mereka Lihat



Seandainya cinta saja yang mengambang di udara
yang membagkiti listrik menerangi rumah-rumah di sepenjuru kota ini,
kita tidak perlu mati bergiliran,
dan orang-orang hanya akan berlari-larian saja di luar sini,
berbaring terlentang menghadap langit merah jambu bak gulali
yang dulu selalu kau bawa untuk kukulum dengan cepat,
di senja yang terjadi hanya saat ini saja, sayang?

Tak ada lagi yang kita miliki yang mampu merantai tubuh yang ringan ini
untuk melayang-layang di udara,
mengganti warna langit dengan rona di pipimu yang merekah 

akibat berjemur seharian memperjuangkan apa yang kau sangka milik kita selamanya?
Saat ini aku merasa begitu bebas, sayang.
Sepetak rumah di kolong gelap,
beratap seng yang karatnya jingga membarakan cinta kita di sore-sore dulu,
yang berayun-ayun ditiup angin hujan badai yang hanya membuatmu mendekapku lebih erat
di malam-malam kita mengucap seribu mimpi,
jembatan itu hanyalah terlihat sehelai debu saja di atas sini, sayang...

Tidakkah kita lebih beruntung?
Cinta mereka terkurung di ruang-ruang kaca.
Mengapa memuja dingin jika hangat saja dapat mereka peroleh di luar sini?

Kota ini tak mampu merampas senja merah jambu
hamparan milik kita yang abadi.
Hanya karena mereka tidak melihatnya...
Dan sekalipun mereka iri dan serakah lalu mencungkil mata kita agar dapat melihatnya,
mereka tak akan bisa.

Listrik hanya mengirim dingin sedingin-dinginnya ke rumah-rumah itu, sayang.

 Maka cepatlah berbaringlah di sampingku ini, sayang.
Tataplah langit merah jambu
Oo...
begitu bahagianya aku,
sehingga mati saja aku mampu...
Cepatlah berbaring di sini, sayang...
seandainya kita beruntung,
roda besi yang meratakan istana kita itu tak melihat kita juga...


 

Selasa, 10 Mei 2011

" J "


        Tidak ada yang putih benar di bawah cahaya matahari pagi, seperti tak ada orang-orang di jalan raya ini yang yakin benar akan hitamnya warna aspal, kekuning-kuningan,  tak ada yang mutlak. Bahkan dibias kristal-kristal debu yang dilap searah, kaca  mobil yang tak mengenal mandi selama seminggu, melaluinya Truve melihat semua warna kian relatif. Lampu merah. Truve di baris pertama. Melintas saja di kaca depannya itu seorang pria setengah baya yang tak biasa, berbalut handuk sepinggang ke bawah, menenteng ciduk dengan peralatan mandi di dalamnya, menyeberangi jalan dengan tertib di sebuah zebracross, bersama-sama para penyeberang normal lainnya tanpa kesungkanan… Dari kursi depan mobilnya Truve keheranan. Pria yang nampak cukup waras tadi, menyeberangi jalan raya dua arah yang lebar ini, hanya dengan selembar handuk…? Lampu hijau. Semua serentak bergerak. Tak ada yang ragu menancap gas, termasuk Truve. Namun sebuah tanda tanya besar telah tertinggal di jalan raya, walau tak cukup menyisakan waktu untuk bertanya-tanya.
Matahari yang membulat, memburai, dan meninggi tak menunggu siapapun. Bukan sesuatu yang janggal pula bila tiba-tiba rintik-rintik gerimis turut melimpahi pagi menjelang siang hari di April bulan yang semaunya ini. Panas atau gerimis tidak ada yang salah tempat.  Apa toh yang tak mungkin terjadi di kota ini? Suara klakson menghardik-hardik, sekali lagi Truve yang tak pernah ragu menekan gas, sekalipun  mata dan pikirannya tak pernah benar-benar ada di jalan raya ini, gadis itu mulai kehilangan konsentrasinya, sibuk mengarang alasan di selular tentang mengapa ia terlambat ke kantor hari ini, hingga tiba saatnya sebuah benturan yang cukup kencang memelantingkan segala rutinitas harinya ke dalam sebuah keheningan...

Truve masih dalam gemetar, menjejakkan tumitnya yang berhak tinggi di atas aspal, gerimis akan mengusutkan rambutnya dan matahari akan meninggalkan spot hitam di sekitar hidung... Pemuda yang sempat tergeletak tadi tergerak berdiri, menepuk-nepuk jaket kusamnya, masih sedikit gontai berusaha  mengangkat motor bututnya tegak, setegak harga diri yang ingin ia junjung di atas jalan raya ini. Hingga mata di balik helm itu menoleh, menyorot lurus ke arah Truve, gadis itu berhenti bernafas, bertatap-tatapan dengan mata seseorang yang beberapa saat lalu dikiranya telah mati (Truve benar-benar mengira ia telah membunuh seseorang di jalan raya!).  Dan saat pemuda itu bergerak penuh antusias ke arahnya, Truve hampir berpikir kini gilirannyalah untuk mati! Namun seperti juga April dan kota ini… Apapun bisa terjadi…
“Halo? Saya baik-baik saja... Nama saya J.” Dengan penuh percaya diri pemuda pemaaf bernama J memperkenalkan dirinya. Menjabat erat, hangat, berdetik-detik… Truve yang diam terpaku, tak tahu pasti kapan gelombang keheningannya itu dimulai... Mereka yang hanya saling bertatapan saja, terlambat menyadari kemacetan panjang yang diakibatkan olehnya di belakang, sebuah kecelakaan kecil yang menimbulkan amnesia sesaat, hingga pada satu titik kekhawatiran akan perpisahan itu muncul tak terelakkan sebelum diri siap beranjak. Untuk kesekian kalinya rentetan klakson mobil-mobil pada akhirnya berhasil menembus hening dan merambati gendang telinga mereka, Truve dan J  pun tergopoh-gopoh meninggalkan satu sama lain. Sebuah pertemuan dengan ‘sepasang mata pencipta keheningan’ di jalan raya, tak membuat Truve menyesali kebiasaannya menyambi-nyambi ria kala menyetir...

Lampu merah berikutnya. Seperti lautan kian ke tengah kian mengaum,  kemacetan jauh lebih parah dari sebelumnya, terkatung-katung seorang Truve yang berusaha mengejar kembali harinya yang tertinggal. Bayangan si mata indah pencipta keheningan berkepala helm beberapa saat tadi masih membuai, namun tak cukup juga membunuh  ingatan akan waktunya yang mengulur sepanjang jalan raya. Dengan lemas Truve memeluk setir, melongok ke atas, sedikit silau, tak sengaja menikmati pemandangan kraine-kraine raksasa mengangkut beton-beton prefabrikasi ke atas, siluet benda tersebut menghalangi cahaya matahari baginya, mahkluk itu berputar lambat di angkasa... bayang-bayang panjangnya yang hinggap di atas kap-kap mobil, merayap pelan, beberapa meter di atas kepala lengan-lengan besi raksasa itu telah bergerak melewati garis sepadan jalan yang seharusnya menjadi pembatas ruang geraknya (namun semua orang tahu bahwa apapun yang terjadi selalu ada ruang untuk pembangunan di kota ini…). Truve mulai mengkhayalkan apa yang mungkin bisa ia lakukan untuk sampai di kantor secepatnya… melompat ke dalam mahkluk besi itu, merebut setirnya, melindas mobil-mobil yang ada di hadapannya, lalu melepaskan dengan santainya slab-slab beton yang membebani lengan-lengan besinya sesuka hati,  berjatuhan menimpa apapun di bawahnya… Teeet!!! Truve tersentak. Lampu hijau. Melanjutkan perjalanannya, kini ia mulai menyadari, sosok-sosok yang kian bermunculan dalam waktu dekat di sepanjang rute dari rumah menuju kantornya ini… ruko dan ruko dan ruko dan mall dan mall dan apartemen dan apartemen dan… unit-unit yang mudah dibeli dengan sekarung uang dalam plastik laundry yang tak perlu dipertanyakan asal-usulnya… Wujud-wujud itu muncul dalam ketergesaan, tak  sempat berjiwa, berlomba-lomba membuat semua jalan menjadi hampir mirip satu sama lain. Truve dapat membayangkan kesulitan besar akan dihadapinya nanti, sebagai seorang warga yang memiliki kemampuan terbatas dalam menyusun pemetaan di otaknya, seringkali tersasar-sasar di tempat yang barangkali juga sudah ratusan kali dilewatinya. Kadang juga Truve berpikir, mengapa tidak ada penguasa jenius dan gila yang mau memindahkan gunung atau pantai ke tepi jalan ini untuk dirinya bertamasya kala terbosan-bosan!? Katanya kota ini sanggup menghadirkan apapun di atas apapun!

Sore sudah. Duduk di atas meja tetangga kubikalnya di kantor, Truve melontarkan satu pertanyaan yang cukup menggelisahkan dirinya sepanjang hari,
“Jujur. Kapan terakhir lo menatap mata seseorang di jalan raya? Benar-benar ‘me-na-tap-nya...” Truve menunjuk kedua bola matanya dan rekannya beberapa kali. Bolak balik. Rekan itu menghadapi dilema, menghentikan pekerjaannya hanya untuk melamunkan sesuatu yang tak penting, namun sahabatnya yang konyol itu tidak pernah seserius ini.
“Gue sering main pelotot-pelototan sama supir angkot kalau mereka nyetir serampangan di jalan...”
“Hmm...Lo gak ngerti pertanyaannya.” Truve mengurungkan niatnya untuk bercerita mengenai pertemuannya dengan seorang J di jalan raya.

Apa yang boleh tinggal dan apa yang boleh disingkirkan di kota ini? Ketika Truve seperti biasa harus mengulang hari yang sama di keesokan harinya, berharap-harap cemas menemukan pemuda bernama J itu kembali di jalan raya ini. Namun apa yang ia saksikan kembali kini, seorang pria separuh baya yang sama, hanya berbalut handuk sepinggang ke bawah menenteng ciduk dengan odol, sikat gigi, dan lain-lain di dalamnya, menyeberangi jalan dengan tertib di zebracross depan, bersama-sama para penyeberang normal lainnya...? Truve kembali bertanya-tanya. Lamunan semacam ini harus bertumpuk di atas pencariannya terhadap punggung-punggung bidang di atas sepeda motor serupa J ?! Namun jalan raya ini memaksanya senantiasa untuk menjadi saksi akan sebuah kota yang hendak menjadi... Kacau sudah lamunan indah yang baru dibangunnya akan J. Bergerak terus mundur jauh ke belakang, jauh sebelum jalan yang dilaluinya ini ada, jauh sebelum mahkluk-mahkluk beton di kanan kiri jalan ini ada… terus dan terus… hingga tiba-tiba saja muncul kembali bayangan pria paruh baya yang dilihatnya beberapa saat lalu, bangun pagi, melakukan kegiatan sehari-hari, lalu dengan selembar handuknya pergi mandi, menenteng ciduk dengan segala isinya... Truve terhenyak. Adakah jalan yang tengah dilaluinya ini, berwaktu-waktu yang lalu telah memisah-misahkan kehidupan si pak tua itu, memisahkan jauh kamar tidur dengan kamar mandinya? Ke seberang jalan? Lampu lalu lintas menguning. Mobil-mobil sudah saling menderu-derukan mesin. Balon imajinasi Truve meletup. Ia telah sampai di depan kantornya tanpa menemukan sepunggung J pun di jalan raya.

Rekan-rekan di kantor itu menyambut cerita Truve tentang laki-laki dengan selembar handuknya itu dengan tawa panjang. Seseorang mencoba menenangkan Truve dengan berkata bahwa di kampungnya dulu pun si pak tua tadi barangkali mandi di kali yang jaraknya dua ratus meter dari rumahnya, jadi lebih jauhlah dari lebar ruas jalan yang dilalui Truve. Pantas saja! Barangkali hal itu menjelaskan kesantaian di wajah si bapak penyeberang tadi. Jalan yang barangkali memisahkan ruang-ruang hidupnya itu setidaknya toh yang menghubungkannya pula? Bahwa jurang terdalam sekalipun  adalah menghubungkan dua gunung...?

Di lantai dua puluh lima gedung ini, dimana kadang Truve menghabiskan sorenya menyeruput pelan-pelan kopi tanpa krim dengan gula coklat, jari-jemarinya yang sedingin cicak mencari-cari kehangatan memeluk cangkir, hangat mulai merambati tubuh… Memandang keluar jendela, menyaksikan matahari terbenam di balik lautan atap-atap  bergenteng kodok, seng-seng karat, tumpang-menumpang, semrawut tak beraturan, hatinya telah lama tak semekar kini. Ia yang selalu menyumpah, merasa salah tempat, posisi pendingin udara yang membuat sakit kepala, mendapatkan meja dekat jendela di sisi barat, bukanlah pemandangan favorit! Di mana di sisi sebaliknya, rekan-rekan senior itu dapat menyaksikan dari jendela mereka gedung-gedung pencakar langit, yang seakan mencakar-cakar punggung mereka untuk tak berhenti bekerja sebelum benar-benar berada di puncak tertinggi di tengah sana. Mereka yang bekerja bersama-sama kadang hingga larut malam. Mereka yang juga turut menggoreskan garis-garis mewujudkan sebuah kota yang hendak menjadi... Truve hanya memandang keluar jauh, hening, di tengah riuh canda tawa khas pelepas stres (biasanya ia orang yang tertawa paling kencang). Sebuah buntelan kertas melayang menyerempet kepalanya, komplain dari seorang warga kantor meminta Truve segera menurunkan vertikal blind di jendelanya. “Silau, gila!” seseorang berteriak. Saat itu Truve berada di tengah kesadaran, atap-atap tanah liat kehitaman itu, kota di balik kota yang sama itu, tak ada yang dapat membuat senja sejingga membara ini di dadanya...

Hari telah gelap, Truve pulang terlambat (karena datang terlambat). Ia kembali menjajaki jalan raya, tak ada kekhawatiran apapun di hatinya. Kota ini, sungguh ia ingin mengertinya… Angin kencang sekalipun tak melenyapkan kemacetan sebaliknya menjebloskan kendaraan semakin bertumpuk tak ada habisnya merayapi jalan raya. Hujan menderas terus mengirim bongkahan-bongkahan realitas di tiap butirnya, isyarat, tanda-tanda, terus membombardir kapsul kecil Truve yang kerap melindungi dirinya dengan apa yang ada di luar sana. Namun tidakkah romantis, hujan yang turun di musim panas ini? Truve pun memilih apa yang ingin dilihatnya di balik kaca depan itu, setiap tetes yang jatuh menggelincir, bening memantulkan berjuta bayang sepanjang perjalanan dari langit ke bumi,  tetes-tetes yang melesat tajam... Tidakkah ingin terbaring terlentang menghadapnya...? Telanjang…
Saat kapsul kecil itu memutuskan untuk meninggalkan jalan raya, sebuah jalan tikus mengundangnya menyelusuri jalan lain menuju kota di balik kota yang sama. Truve tak yakin bahwa jalan ini pernah ada sebelumnya. Namun apa yang nyata dan yang tidak di kota ini? Di belakang Truve meninggalkan jauh sebuah papan reklame besar, dengan lampu-lampu realitasnya yang terputus-putus, sebuah mimpi semu akan kemudahan hidup yang senantiasa ditawarkan kota ini di atas apapun. Di kota ini orang tidak pernah tahu dimana sebenarnya mereka tersesat. Truve masih menjalani jalan kecil ini, keyakinan di hatinya akan menemukan jalannya, barangkali menemukan J, si mata pencipta hening itu, entah dimana di suatu tempat di kota ini, mengalahkan segala kerisauan. Namun  jalan yang dihadapi kini kian menyempit, mengusut, bahkan membuntu, menghantarnya ke entah. Hingga pada suatu saat Truve menyadari roda mobilnya yang telah berputar semakin berat. Ia memutuskan untuk turun mengeceknya. Ban itu gembos! Sebelum tiba-tiba keheningan lain menyergapnya, kali ini berbeda, lebih seperti sebuah kesunyian, yang dalam dan dingin. Kegelapan di kejauhan bergerak menghampiri, segerombolan orang yang datang mengendap mengelilinginya, menghempasnya mencium aspal yang lebih hitam dari yang pernah ia tahu...
Malam yang kian jauh, Truve merasakan segalanya berputar-putar, tubuhnya terperosok kian dalam, sebuah jurang, ia bahkan belum menemukan dasarnya… Asa kecilnya yang tetap ada akan sesosok J datang menyelamatkannya dari tengah kegelapan. Namun hanya pada langit yang tak nampak dalam gulita ini sajalah Truve dapat berteriak, agar hujan malam itu juga menghapuskan kota yang barangkali tidak pernah nyata ini! Melunturkan setiap garis, sekat, cluster, apapun itu… Kota yang hadir dalam bentuk apapun, apapun, kecuali dirinya sendiri… Kota dengan ilusi gunung dan jurang bersandingan dalam kesunyian yang bukan hening. Wahai kota ini, sungguh Truve sudah berusaha keras untuk mencintainya!

Jakarta, 9 Juli 2010



Selasa, 02 Februari 2010

Jam Pasir


Aku adalah musafir yang terkubur dalam sebuah jam pasir. Badai gurun sekalipun tak mampu meloloskanku. Diriku tertumpah kemana pun kamu mau...

Maka kedua bola mata ini diciptakan menghadap keluar. Menyaksikan bagaimana dunia terbit, orang di kota ini hampir tidak pernah tahu, seandainya bola-bola itu mau berputar ke arah dalam, dibaliknya belahan tergelap telah lama menanti untuk bersinar. Seperti mitos, orang bilang sangatlah berisiko untuk melihat ke dalam sini, dimana sebuah rasa maha agung tengah berputar bagai gumpalan gas, dan waktu belumlah berbentuk. Di luar sana waktu seakan berjalan menderu mengepul-ngepulkan asapnya tak sabar dan diriku terikat di ujung lokomotif. Karena itu, sekali lagi, mataku hanya bisa membelalak keluar, seperti ketika pada awalnya kami bertemu, aku bahkan belum melihat rupamu. Lift ini tidak sepadat biasanya. Ada jarak pandang ideal ketika tiba-tiba saja sesosok tubuhmu teronggok di hadapanku. Sebuah tubuh siluet jam pasir... Secelah cahaya menyusup masuk merembes batok kepalaku yang karam akibat tekanan yang memuncak hari-hari belakangan ini. Lift ini begitu tenang saat kau berada di dalam, hampir serupa kuil, semua menahan nafas, aku yang berdiam menyandar di sudut menyaksikan sebuah penampakan, apa yang benar-benar nampak sepertinya, sebuah siluet jam pasir...
Siapa gerangan dirimu, jam pasir? Dalam sekotak lift dimana orang-orang tanpa nama dari entah penjuru berkumpul dalam sebuah skala intim, dalam suasana formal dan terjaga, dalam keruwetan pikiran masing-masing dan tekanan waktu, aku tak pernah menyadari, hingga tubuh berlekuk bak jam pasir itu memasuki zona pribadi ini, bahwa keheningan semacam ini bisa terjadi di dalam sebuah kotak yang kulalui setiap hari di pagi melompong ini? Lift bergerak lambat. Semua tingkah yang terekam. Untuk sebagian kecil saja orang di kota ini, menjadi teman seperjalanan lift sudah cukup membuat dirinya merasa dekat satu sama lain, seperti si bapak berdahi lebar yang sedari tadi tersenyum-senyum berdiri di sebelahmu, mengucap salam santun, “Mari...”, sebelum ia turun di halte bernama lantai tiga. Melalui kilatan matanya aku tahu ia mengalami goncangan yang sama denganku.
Maka tubuh memiliki pikirannya sendiri. Seperti kedua kakiku ini seperti tahu kemana harus melangkah tanpa sanggup kukendalikan, untuk seorang laki-laki yang selalu menumpukan hidupnya pada rasionalitas, tak dapat kujelaskan apa yang terjadi pada diriku saat memutuskan untuk turun di lantai yang sama dengan dirimu, dan membuntutimu kemana pun kau berkelok, mengacuhkan getaran di saku yang tak henti-henti memvibrasi privasiku, hingga pada kelokan berikutnya engkau berhenti dan membalikkan tubuhmu secara tiba-tiba... Astaga, aku terjaga.

Kamu hanya tersenyum biasa saja ketika mendengarkan penjelasanku pada sebuah pagi berikutnya. Seolah mengesankan hal semacam ini sudah sering kau alami.
“Kenapa sarapan pagi?”, kamu memiringkan sedikit kepalamu ke kiri. Mengapa banyak orang memiringkan kepala ketika sedang bertanya? Entah ke kanan, atau ke kiri. Dan mengapa baru ketika bertemu denganmu saja aku mulai mempertanyakan hal-hal aneh semacam ini. Namun aku urung mengungkapkannya. Khawatir pertemuan pagi-pagi benar ini saja sudah terlalu aneh buatmu.
“Apa terlalu pagi untuk mengenal seseorang?”
“Ha, ha, ha... Untuk ukuran laki-laki yang suka membuntuti perempuan, tidak saya sangka-sangka jawaban kamu!” Kamu tergelak. Aku hanya tersenyum dari balik simpul jari-jari tanganku menopang dagu. Membiarkanmu dengan pikiranmu. Kamu tidak harus buru-buru mengenalku. Dan teh itu tengah dituangkan ke cangkirmu, seperti sesuatu telah memasuki benakmu,
“Memangnya, menurut kamu tubuh saya...bagus?” Menghirupi uap camomile, kamu tampak menikmati sekali teh-mu.
“Hmm. Paling bagus di antara orang-orang satu lift...” Aku sendiri tak mengerti, karena sejujurnya lekak-lekuk semacam dirimu bukanlah hal baru di sekitarku.
“Ha, ha, ha... Damn, you! Jangan-jangan saya satu-satunya perempuan saat itu!” Lalu dengan narcist-nya melanjutkan permainan,
“Ketika akhirnya kamu melihat saya, apa yang kamu lihat?” Keheningan itu kembali membuncah. Kami yang saling bertatap-tatapan, hanya dengan mata yang tertinggal, karena bibirmu hilang dibalik cangkir, dan kepulan asap memudarkan batang hidungmu. Aku menarik nafas panjang, menghirup semua yang ada di depan mata,
“Saya melihat apa yang kamu lihat saat bercermin...” Bahwa tidak ada jawaban selisan itu. Bahwa segala sesuatu terasa lebih dangkal pada saat hendak diungkap. Bahwa kamu pada akhirnya mengerti, dan segera menghentikan babak saling mengintimidasi ini, agar pagi terasa lebih ringan dari yang pernah kami bayangkan. Hingga pada malam harinya menjelang tidur, aku masih bisa mengenang cahaya mentari keemasan saat menyoroti anak-anak rambut di atas kepalamu...

Lalu kamu hadir lagi di pagi berikutnya. Kali ini sarapanmu lebih berat, double sandwich.
“Menurut kamu, siapakah yang harus dipasung? Hmm… perempuan dengan tubuhnya, atau laki-laki dengan pikirannya? Apa yang bisa menghindarkan saya dari laki-laki semacam kamu, membuntuti saya dari lift hingga ke meja kerja saya? Beberapa bahkan langsung mengajak kencan…” Kamu mulai lagi, saat melepas-lepaskan daging dari lembaran-lembaran roti tawar itu. Aku tidak dapat membayangkan, kalau memang merepotkan, kenapa tidak diciptakan saja tubuh wanita seperti buah tomat?
“Kalau tahu kamu secerdas ini, saya tidak jadi membuntuti kamu kemarin, ha...ha...ha...”. Aku tak yakin ingin menjawabnya. Kamu mengangkat bahu.
“Tidak ada pilihan. Perempuan harus dua kali lebih cerdas saat laki-laki dibiarkan menjadi bodoh seumur hidupnya...”
“Ups. Saya semakin menyesal. Kamu seorang feminis?”
“Siapa bilang? Saya senang dibayari sarapan pagi. Ha!” Kami tahu. Kami hanya berusaha saling merendah. Siapa pula yang ingin menyingkap kompleksitas martabat manusia di pagi hari yang masih terlalu pagi ini.

Kamu mengatakan kamu tidak bisa datang di pagi hari berikutnya. Lalu berikutnya lagi. Hingga satu minggu kemudian kamu menghubungiku untuk bertemu di jam dan tempat yang sama. Aku mengiyakan setelah kondisiku yang menjadi kacau balau tanpa harapan tak bisa dijelaskan. Aku hampir bertapa dalam gunungan pekerjaan yang tiba pada titik yang tidak dapat kurasakan lagi. Tolong, aku tak merasakan apa-apa! Kubutuhkan secelah dirimu... Dan kami bertemu dengan sikap seolah tidak terjadi apa-apa pada saat kami tidak bertemu. Matahari bulat seperti kuning telur yang dikeluarkan sebelum waktunya (memang semua telur adalah belum waktunya). Seperti yang terceplok di atas piringku di atas butir-butir nasi kecoklatan tak lama setelah digoreng. Sudah kutebak sejak pertama kamu adalah vegetarian.
“Dari mana kamu tahu?”
“Dari kulit kamu. Sejak kapan?”
“Sejak laki-laki menginginkan wanita berkulit bak porcelen, ha...ha...ha...!” Sekali lagi kamu terus menerus merendah. Sekedar menunjukkan solidaritas bahwa kamu juga sekelas dengan mahkluk bernama laki-laki. Dan barangkali aku pun tak yakin ingin melihatmu lebih dari apa yang terlihat di depan mataku sekarang, sepasang mata yang menghadap keluar ini. Aku menelan kuning telur itu bulat-bulat. Sambil menatap dirimu, meyakini diri, bahwa bola mata ini belum berputar ke dalam, menjelajahi bagian tergelap? Kuyakinkan diriku masih berenang-renang di atas permukaan. Khawatir aku terjatuh di kedalaman diriku? Melalui sebuah tubuh berlekuk siluet jam pasir? Please...
“Kemarin saya mampir ke lantai kamu, menitipkan sarapan untuk kamu di front office.” Ya, tapi tindakanku semakin absurd.
“Saya tahu. Itu juga kenapa saya menelpon kamu…, untuk mengakhiri ini semua,” kamu sibuk mengaduk-aduk juice kiwi itu seperti juga kamu mengaduk-aduk isi perut dan kepalaku tiba-tiba. Aku tak mengerti, ada berapa lapis jubah misteri kau kenakan?
“Mengakhiri apa?”
“Sarapan pagi.” Kamu mulai menyedot juice itu. Aku pun hampir tersedot ke dalamnya. Bagaimana bisa kamu menolakku di saat segala sesuatu masih terlalu dini?
“Hmm, kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau.” Tak seharusnya aku menanggapi sarapan pagi seemosinal ini.
“Kamu tidak apa-apa, kan?”, seperti harus memastikan bahwa tak ada yang terluka dalam permainan ini. Kamu terlalu percaya diri.
“Maafkan saya, kamu baik sekali selama ini mau menemani saya. Tapi saya tidak mengakhiri apa-apa, saya memang selalu di sini untuk sarapan.” Kita lihat siapa yang lebih terluka. Namun juice-mu yang lebih dulu habis. Apakah sudah habis waktunya? Kamu berdiri seolah-olah bersiap membalikkan kembali jam pasir. Kamu bahkan tersenyum yang terlega yang pernah kulihat.
“Baguslah. Senang bisa bertemu orang yang masih menikmati sarapan paginya. Sangat bagus untuk kesehatan. Terima kasih ya buat sarapannya...” Aku hanya menjawab dengan satu anggukan. Dan saat kamu melenggang menuju pintu keluar, aku ingat cahaya matahari yang berkobar dari balik lengkung pinggulmu. Saat itu aku tahu, tubuhku telah terkurung di sana, jam pasir...

Kamu barangkali sudah menebak apa yang akan terjadi kemudian. Aku kembali berhenti di lantaimu, mendekati kubikal itu dengan gagah berani namun dengan nafas terhuyung-huyung. Kamu seperti telah mempersiapkan segalanya, caramu duduk, berdiri lalu menyandar ke meja, mengangkat telpon, mondar-mandir sembari meminta maaf telah membuatku menunggumu, semuanya dalam balutan tubuh itu. Kamu yang membuat aku sehina ini. Menggamit lenganmu, sampai akhirnya kamu benar-benar berhenti. Sungguh picisan semua ini!
“Seandainya kamu tidak punya waktu untuk sarapan, apa kamu punya waktu untuk makan malam?” Aku tak peduli lagi. Kamu boleh pura-pura melongo. Aku juga sudah tahu bahwa aku terlahir hina.
“Maaf, tapi saya tidak makan malam.” Kamu selalu terlalu cepat menjawab. Sedisiplin itukah kamu menyangkal dirimu? Tidak makan malam? Siapa dirimu sebenarnya? Korban? Dari tubuhmu sendiri? Aku tertawa. Untung saja, aku hampir terjebak dengan mengira ada sesuatu yang lebih dalam dari itu semua?!
“Ok. Maaf sudah banyak mengganggu kamu.” Sesaat aku merasa seluruh kota runtuh menimpaku, sampai akhirnya kota yang sama berdiri kembali tegak hanya dalam hitungan detik saat kamu kembali memanggilku.
“Saya tidak makan malam karena saya suka ngemil sore-sore,” kamu tersenyum seperti seorang pemenang, padahal kamu sedang berhadapan dengannya...
“Hmm... Saya tahu kedai yang menjual es krim yang tidak cepat meleleh di mulut...”

Dan aku telah berjalan cukup jauh untuk bisa duduk di atas bangku taman ini. Tentu saja, aku telah berlari bergunung-sungai-lembah jauhnya hanya untuk mendapatkan satu titik saja di kota ini, tak ada jalan pulang. Aku bahkan tak tahu dimana rumahku, tempat dimana aku dapat duduk dalam damai pada suatu sore saja. Menanggalkan segalanya, jadwal-jadwal yang saat ini nampak tak lagi penting, di atas bangku taman ini aku banyak melamun, menjilati hampir separuh es krim bagianku. Kota yang berderet dalam horizon bergerigi seakan menyeringai memandangku, barangkali aku terlalu sensitif. Seorang ibu dan bayi sewaannya yang menghampiriku. Aku hanya diam melamuninya, tak menepis ataupun merogoh saku, karena kedua tangan ini telah penuh menggenggam es krim... Bayangan mereka memudar ketika bayangan kamu pada akhirnya menembus muncul bersama gulali raksasa pada langit di belakangmu, merah dadu, jingga, ungu... Angin-angin kecil mempermainkan lipat-lipat rokmu, rambutmu. Lalu siluetmu, beberapa saat sebelum matahari terbenam... Aku merasakan desiran-desiran pasir hangat mulai menenggelamkanku, di dalam tiap butirnya, detik per detik, sebuah kurungan waktu…
“Maaf. Jalanan macet, banyak demo. Gimana dengan kamu? Hebat juga bisa kabur lebih dini. Eng... apa itu es krim saya?”, kamu sangat terkejut saat melihat sebelah tanganku masih menggengam es krim bagianmu sejak pertama hingga lumer. Aku pun turut memandang sebelah tanganku yang berlumuran coklat, vanila, strawbery... Apakah aku telah mempermalukan diriku? Kamu pun diam menatapi tetesan-tetesan es krim di sela-sela jariku. Rapuh. Dan saat matahari akhirnya terbenam, kamu nampak telah siap untuk dipatahkan... menangis begitu saja. Aku yang menyaksikan butir-butir air mata itu luruh, berkilauan memantulkan langit senja, aku bahkan hampir dapat melihat lautan di dalamnya kalau saja kamu tak mengusikku,
“Apa yang kamu lihat?!”
“Hmm... Kamu.”
“Ada apa dengan kamu?! Matahari tenggelam terbentang di hadapanmu, kamu malah melihat saya?” Ucapanmu menusuk, kamu tahu! Padahal beberapa saat yang lalu aku hampir mengira diriku sudah sederajat denganmu. Apa kau lupa, bangku VIP pertunjukan senja ini, aku yang memilihnya! Tapi aku biarkan kamu dan pikiranmu.
“Eng... Kedai ice creamnya sudah tutup. Kalau kamu masih benar-benar mau, dengan amat terpaksa harus menjilat dari tangan saya...”. Kamu terkekeh jengkel namun terpesona mendengarnya.
“Ha..ha..ha… Kamu mahkluk paling menjijikan yang pernah saya kenal!” Namun dengan gaya khas-mu pun kamu menjilat sisa es krim itu, perlahan… Hanya satu kali. Lalu, untuk kesekian kalinya aku harus memandangmu bangkit berdiri, entah putaran ke berapa, begitukah caramu menggulirkan waktu, jam pasirku sayang?
“Oke, saya harus pergi sekarang…” Tidak! Segera kutangkap jemari kecilmu, kubiarkan lumat bersama tetesan vanilla, coklat, strawberry di dalamnya… Biarlah kita sama-sama menjijikkan.
“Jadi... besok pagi kita sarapan?”

Aku menyaksikan matahari terbit dari balik perbukitanmu, jam pasir. Sebuah lukisan pagi, dengan tubuhmu kau boleh membingkai-bingkainya seleluasa yang kau mau. Di kota ini waktu telah kau taklukkan. Dan di atas tempat tidurku ini, kamu boleh memiliki duniamu sendiri. Aku menyapamu,
“Selamat pagi, cinta...”
“Ha...ha...ha... Cinta? Bagaimana kamu mengenali cinta?”, kamu menggeliat…meletakkan dagu di atas dadaku, masih belum puas saja menderaku.
“Hmm…?”
“Kata seorang filsuf, orang tidak pernah mengerti tentang cinta, karena setiap kali orang mencoba memikirkannya ia selalu menggantikan tempat itu dengan wajah-wajah orang yang dicintainya, atau bahkan benda-benda atau hal-hal yang adalah bukan cinta itu sendiri...”
“Untung saya cuma laki-laki sederhana…”
“Maksudnya kamu lebih pintar??”
“Tidak. Saya bahkan tidak bisa berpikir. Buat saya cinta memang sesederhana itu…” Kamu tercenung serius mendengarnya.
“Kamu benar. Memang sebaiknya kita donorkan saja otak ini kepada kera…!” Aku bisa saja terkejut mendengar kata-katamu, cinta. Namun pagi ini sudah terlanjur damai, dan tak ada apapun yang sanggup mengganggunya. Mengusap rambutmu ke balik telinga,
“Kalau tahu kamu secerdas ini, saya tidak akan tidur denganmu semalam, ha...ha...ha...,” aku pikir kita punya selera humor yang sama. Kamu nampak tak memedulikan ucapanku.
“Sarapan apa kita pagi ini?” todongmu tiba-tiba.
“Aku punya beberapa jenis buah di kulkas...”
“Aku mau apel.” Tentu saja kamu menginginkan apel. Kamulah yang pertama kali memetik & memakannya.

Aku masih menunggumu mandi dalam damai, cinta. Berenang-renang dalam butiran-butiran waktu yang hangat, pasir yang berkilauan. Namun di layar televisi kusaksikan tayangan berturut-turut, yang berlari-larian ke sana kemari, bersimbahan air mata & darah, menjerit-jerit memanggil nama Yang Kuasa sambil memeluk orang yang dikasihi... orang-orang yang kehilangan, wajah-wajah kehilangan cinta... Tiba-tiba aku merasa mandimu terlalu lama. Dan ketika akhirnya kumenyadari kamu tengah berdiri mematung sedari tadi dengan wajah pucat, aku terpental dari kasurku.
“Cinta, kenapa?”, mengusap rambutmu ke balik telinga.
“Saya mau mengatakan sesuatu...” suaramu tegar namun gemetar.
“Katakan saja, cinta...”
“Saya butuh uang...” Aku hampir tidak percaya mendengarnya. Namun aku tidak ingin memikirkan apa-apa. Pikiran ini, sudah lama ingin kubuang pula, cinta. Aku tak perlu tahu akan kau gunakan untuk apa uang itu, hanya yang kutahu bahwa kamu akan mendapatkannya. Segera kumenarik laci dekat tempat tidurku, dimana kuletakkan buku cek dan pena terselip di dalamnya.
“Berapa yang kau butuhkan?” Hatiku yang melakukannya, cinta. Dengan hatiku, aku sanggup melakukan apapun. Hanya saja engkau benar, aku melecehkan pikiranku... Kamu seperti menyebutkan sejumlah angka sekenanya, alisku sempat tertarik refleks, namun kukutip pula jumlah itu ke dalam selembar cek dan kuberikan padamu. Kamu menerimanya dengan gemetar.
“Dengan apa aku harus membalasnya?” hati-hati kamu mengajukannya. Aku meraih tubuhmu mendekatiku, handukmu terkulai ke lantai.
“Teruslah sarapan pagi bersamaku, cinta...” Namun tiba-tiba aku menyaksikan tatapanmu menjadi kosong. Butiran-butiran air itu kembali menetes di sana, memantulkan fajar...
“Kamu tidak mengenal cinta... Kamu juga tidak mengenal aku. Kamu hanya mengenali tubuhku! Itukan awal mula semua ini? Untuk itu pulalah cek ini kau berikan?!” kamu mengacung-acungkan cek itu ke wajahku. Oh Tuhan, kamu membalikkan kembali jam pasir itu! Aku pun terhimpit di tengah leher botol. Aku harus mengatakan apa? Bahwa lekuk pinggulmulah yang anehnya menyeberangkan aku menuju lautan terdalam, sebuah belahan yang dahulu gelap, kini mataku telah berputar ke dalam dan menatapnya... aku mengenali cinta... Mengangkatku menjadi manusia, semulia dirimu? Masih dari balik pinggul itu pula kumelihat pantulan gambar-gambar di televisi yang sama terus berulang, wajah-wajah kehilangan cinta? Lututku lemas tak kuasa, aku bertekuk...
“Cinta, aku tak pernah merendahkanmu seperti yang kau pikirkan. Tolong hentikan pikiran-pikiranmu...,” karena itu berbahaya... Apa lagi yang kau temukan di sana, dalam amuk sel-sel kelabumu, di saat kau baru juga selesai mandi?
“Jangan pernah kamu berpikir menemukan cinta dalam wajah-wajah, tubuh-tubuh, di sela-sela waktu sempitmu, di kota ini! Kamu tidak akan mendapatkannya!” Dari sebuah sudut tempat tidur kini aku mematung menyaksikan kamu merampas-rampas pakaianmu dan memakainya dengan tergesa. Kamu, tubuhmu dan pikiran-pikiranmu. Cinta... Mengapa kau lapisi dirimu berlapis-lapis? Tak dapatkah kita sekedar memilikinya saja? Kamu pikir dirimu korban? Mengapa aku merasakan hal yang sama...?

Aku masih sarapan pagi di sini. Untuk yang terakhir kalinya. Sejak sekian lama menantimu berbalik kembali, jam pasir, telah kudengar angin membawa kabar bahwa kamu pergi sejak pertama kali ke pulau yang tenggelam itu, kepada mereka, wajah-wajah yang kehilangan cinta... Kau pikir akan menemukannya di sana? Kukagumi caramu bekerja, cinta. Tak pernah ku menghakimimu, dirimu yang kadang berselimut kegelapan... Kuselesaikan kopi ini, lalu bangkit menyandangkan ranselku. Ya. Akan kutinggalkan juga kota ini. Berapa putaran yang kau tawarkan, jam pasir? Diri kita terkurung masih dalam cinta...



Desember 2009

Selasa, 19 Januari 2010

Dua Menit untuk Abadi di Salihara



-->
Laki-laki itu keluar dari gelap... Setelah saya menunggu kurang lebih 15 menit duduk di bangku penonton, yang mana untuk mendapat titik pandang ini saja saya sudah pindah tempat 3 kali, ngobrol ngalor ngidul dengan seorang sahabat sambil menikmati manusia-manusia eksentrik di sekitar kami, saya sudah berangkat dari rumah 1,5 jam sebelumnya sebagai antisipasi jalanan Jakarta gerimis yang tidak bisa ditebak , dan satu hari sebelumnya lagi bahkan kami sudah datang ke gedung ini untuk mendengar mbak-mbak di balik loket bilang bahwa tiket sudah habis terjual, lalu kami makin penasaran & langsung pesan tiket untuk hari minggu tgl 17 ini, yang padahal hari sabtu itu juga saya sudah berangkat 2 jam sebelumnya. Jujur bukannya saya segitu mengharapkan pria-pria berstoking warna kulit melenggak-lenggok di depan saya amat, ingin mencari hiburan keluar dari rutin dengan sok-sok-an menonton pagelaran seni tari “Kreativitat Dance” pimpinan Farida Oetoyo, saya tidak mempersiapkan mental untuk menonton pria berpostur ‘tambun’ menari-nari balet solo di hadapan saya…! Maafkan. Size doesn’t matter. Tapi ekspektasi terlalu tinggi terhadap apapun memang bisa membunuh!
Namanya Yudistira Syuman. Dalam gerak & mimik ia bercerita tentang seorang pengidap skizofrenia. Koregrafer yang mementaskan tariannya sendiri ini konon melakukan riset pula ke rumah sakit jiwa hanya untuk mengamati gerak-gerik pasien skizofrenia. Panggung ditata sederhana, lighting sederhana, kostum seperti mau main layangan, mendesak alunan synthesizer karya Indra Lesmana menghipnotis penonton, membuat saya akhirnya melamunkan gerak-gerik penari di tengah sana... Beliau meninggalkan rasa simpati & sayang saya pada para penderita skizofrenia, dengan berakhir terduduk bersandar di sebidang kanvas yang mengesankan ‘di balik pintu’, cahaya menyudutkan dia di sana, kesepian, sambil bergumam :
Namaku Luka,
Aku tinggal di lantai dua,
Aku tinggal di atas rumahmu,
Mungkin kamu pernah melihatku sebelumnya,
‘Luka’ by Suzanne Vega. Penonton tersenyum-senyum sendiri, terlebih-lebih saya. Wah lega rasanya, merasa berhasil menangkap sesuatu dari pertunjukkan pertama ini... Malang buat teman saya yang sampai selesai lirik terjemahan tadi digumamkan, masih mengernyitkan dahi.
Mas Yudistira Syuman ini benar-benar seorang koreografer luar biasa! Karya berikutnya dibawakan oleh sepasang penari, berjudul cukup panjang, “…Bagai Sepotong Seruling Bambu yang akan Engkau Isi dengan Musik”, diilhami oleh fragmen dari Gitanjali karya Rabindranath Tagore “Engkau membuat abadi, begitulah kesenanganmu. Bumbung yang rapuh ini engkau kosongi lagi dan lagi, lalu engkau isi dengan kehidupan baru…Nomor ini tentang cinta. Awalnya saya merasa ini terlalu manis dan cengeng buat saya, sampai setelah itu saya dibuat tersentak dan tercengeng-cengeng olehnya…! Saya tidak tau kenapa, dan di detik ke berapa, tahu-tahu air mata saya menetes begitu saja… Sedih bukan, terharu mungkin bukan, hanya… apa kata yang tepat ya?... Tersihir! (Atau kualat, karena sok kritis). Sialnya musik yang dipilih Aksan Syuman & Titi Syuman (penata musik) di momen itu adalah instrumental tembang lawas, ‘Sabda Alam’, dalam dentingan piano minimalis, membuat diriku tak kuasa… tes…tes…tes… Buru-buru usap. Tengok kanan kiri, adakah yang seemosional saya? Betul-betul personal nomor ini. Siko Setantyo jadi bintang di hati saya malam itu. Penari berpostur kurus, agak kecil, bertulang, namun padat, seandainya dia tidak menari saya tidak akan pernah ingat wajahnya. Tapi sampai saat menulis tulisan ini, tulang-tulang yang menonjol dari jemari tangannya saja saya masih ingat. Saya rasa sesaat itu saya jatuh cinta, bukan dengan sosok, bukan karena lokasi, hanya betul-betul tersirap pada sebuah sekuen indah yang patut dibahagiai… Momen itu dimulai justru saat saya merasa jengah dengan adegan menangis dari penari perempuan yang kepanjangan, lalu tiba-tiba dentingan ‘Sabda Alam’ masuk tepat saat Siko Setantyo memainkan dua jari di kedua tangannya, merayu penari perempuan, gerak tubuhnya melebur dengan musik, bahkan dialah musik tersebut… memikat kuat, memori pribadi yang saya tidak ingat apa, campur baur menghentikan waktu… hingga bermenit-menit kemudian saya mulai merasa hambar ketika harus menyaksikan sekuen itu diulang dua kali?! Please, mas Yudistira, tolong jangan lakukan itu! Bluss! Padam sudah kristal sihir di hadapan saya. Namun sekali lagi, terima kasih, telah “mengisi bumbung yang rapuh ini dengan keabadian… walaupun akhirnya kau kosongi kembali ” …
Kalau boleh dibilang, pagelaran tari Kreativitat Dance di Teater Salihara tanggal 16-17 Januari kemarin adalah sebuah kolaborasi ‘KKN’ antara ibu, anak, kakak beradik, & istri, yang sukses. Grup tari itu sendiri pimpinan pebalet paling terkenal di Indonesia, Farida Oetoyo, dengan koreografer sekaligus penari ananda Yudistira Syuman, serta sang adik drummer Wong Aksan (Aksan Syuman) & istrinya yang sangat cantik, Titi Syuman, sebagai penata musik. Baca di Kompas Minggu pagi, katanya ini adalah kolaborasi pertama mereka sebagai sebuah keluarga. Barangkali akan lebih lengkap lagi kalau teks dari penulis Djenar Mahesa Ayu (yang juga salah satu anak dari Farida), yang saya lihat hadir malam itu, juga menginspirasi salah satu tarian di dalamnya. Hanya usulan saja.
Nomor terakhir adalah yang paling panjang, terdiri dari 4 babak, karya Farida Oetoyo. Saya cukup bersemangat ketika babak pertama dimulai dengan adegan bercinta Dewi Kunti remaja dan Batara Surya di balik sebuah bilik kecil di pojok kanan panggung (saya suka tirai plastik panjangnya yang tergantung dari atas sampai bawah berwarna es). Tubuh penari perempuan yang indah hanya dibalut stoking warna kulit dan mereka bergeliat di ruangan sempit yang ternyata bawahnya kolam, basah, lighting temaram. Erotis memang tapi tidak vulgar (mungkin karena mimik penarinya agak tegang?). Yang mengganggu saya cuma adegan Batara Surya mengucurkan air dari dalam kendi ke arah Dewi Kunti... Metafora yang tepat, tapi buat saya kok terlalu jelas gitu, ya. Saya lebih suka kendi itu saat diberikan ke dekapan Dewi Kunti, lalu sang dewi keluar dari bilik, berjalan dengan lunglai namun tegar, masih menggendong kendi, sambil menyeret pakaiannya perlahan-lahan keluar panggung. Tiba-tiba muncul ksatria negeri Kurawa, Karna (diperankan kembali oleh idola baru saya, Siko), memaki-maki Arjuna, disusul keluar seorang penari berambut putih (make up) yang ternyata Dewi Kunti dewasa yang sekarang telah menjadi ibu dari Pandawa Lima. Terjadi dialog yang cukup panjang & jelas, bahwa Karna adalah anak hasil perselingkuhan Dewi Kunti dengan Batara Surya. Karna dilarung di sungai dan ia dibesarkan dalam kasta rendah. Kedatangan Kunti untuk mencegah Karna berperang melawan Pandawa Lima, saudara seibunya itu sendiri, namun ditolak olehnya demi membalas jasa kepada negeri Kurawa yang membesarkannya. Mulai dari sini saya menikmati kolaborasi ini sebagai sebuah satu kesatuan pertunjukkan, tanpa harus memikirkan ini tari atau teater atau operet, dll.
Babak kedua Kunti dewasa menari dengan bayangan masa lalunya, Kunti remaja. Saya suka karakter yang diciptakan dua penari ini, walaupun mereka menari seperti bayangan namun ekspresinya berbeda. Kunti remaja tampak menari dengan lugu dan gamang, sementara Kunti dewasa menari dengan berbeban berat dan penuh rasa sesal. Suara penyanyi arahan Aksan & Titi menyayat-nyayat, penuh kegetiran, sepasang bayangan berkostum warna ungu, wow… saya cukup larut.
Genderang peperangan ditabuhkan, tanda peperangan dimulai. Babak ketiga tampak seru dengan lima laki-laki gagah (Pandawa Lima) menari serentak, tangan di pinggang mirip wayangnya, membentuk formasi busur, berhadapan dengan Karna seorang diri (oh, Karna…). Kostumnya enak dipandang, namun saya merasa babak peperangan ini terlalu pendek. Karna terjatuh, yang langsung ditangkap ibunda Dewi Kunti, seorang ksatria Pandawa (siapa ya, Arjuna?)ingin menebasnya namun dicegah yang lain, akhirnya Karna tetap harus mati (dalam bahagia menurut saya, karena dalam pelukan ibunda). Saya terharu sekali, pertama karena kisah klasiknya yang memang indah (yang malunya saya baru tahu sekarang!), kalau mau ngalor ngidul saya yakin Karna bakal masuk surga karena dia tidak bersalah…!? Ayahanda Batara Surya telah menantinya dari balik bilik pojok kanan panggung (dengan lighting tepat di atas kepala, berbayang-bayang, tubuh penari Batara Surya paling bagus seantero panggung pertunjukan berdurasi 2 jam-an ini…).
Babak terakhir. Agak membingungkan buat saya, sebelum membaca keterangan di pamflet. Tentang pengadilan terakhir, saya pikir mereka tengah digiring ke neraka (saya kok sok mengadili amat), ada 3 orang, yang satu jelas Dewi Kunti, saya tidak tahu yang dua lainnya. Tapi satu penari perempuan yang ditutup matanya bergerak paling menonjol, suara penyanyi di balik layar merintih penuh kesakitan, sempat menimbulkan rasa ngeri akan neraka (habis ini ingin rasanya keluar gedung sambil menabuhkan kendang bernyanyi… “perdamaian…perdamaian…”). Yang paling janggal buat saya kostum penari-penari yang memerankan ‘api’, dengan penuh rasa hormat, madam Farida, yang merangkap pengarah kostum, menurut saya ‘Hallowen’ sekali, agak mirip operet remaja. Maaf. Belum lagi ada penari yang kepalanya terjebak dalam kostumnya sendiri saat tengah bergerak menghayati perannya sebagai api... Tapi ini semua mungkin cuma kesalahan kecil yang saya besar-besarkan saking kurang wawasan. Peace!


-->