Diawali sebuah gigitan kecil di gusi basahnya, pss… Bius setempat mematikan sebagian rasa namun mengentalkan rasa yang lain. Te terbangun di sebuah kesadaran. Menyusuri dinding putih, sebuah rak kaca, cetakan-cetakan gigi dari gipsum dengan nama-nama pemiliknya, berderet, bertumpuk, terikat dalam keadaan terkatup tak sempurna...
“Buka mulutmu lebih lebar lagi... tahan sebentar...” Perempuan itu masih menganga. Menatap cahaya kuat di hadapnya yang sejak tadi menyoroti interior
mulutnya. Sekujur tubuh masih bertegang, meyakinkan diri bahwa hampir usai untuk
saat ini. Bahwa bius tidak mengebalkan pikirannya.
“Gigit kapasnya yang kencang… Satu jam lagi boleh buang ludah,” suara yang selalu
terdengar ramah berlebihan, berkata-kata seolah tidak ada yang aneh
dengan menggigit kapas selama satu jam? Bahwa
Te bukanlah pasien pada umumnya. Bahwa sang dokter adalah teman berdiskusi
yang baik bahkan sejak ia bergigi susu. Bahkan kursi itu adalah favoritnya! Dimana akan ia istirahatkan sejenak
pikiran itu, dan pertanyaan tinggal ia lemparkan begitu saja seperti kulit-kulit
kacang dimana sang dokter dengan gesit menangkapnya. Berdua mereka akan membuat antrian panjang
melingkar-lingkar di ruang tunggu di luar. Biasanya.
“Hmm,
hari ini kamu stress sekali, Te? Gigimu goyah semua. Mudah saja saya mencabut satu gerahammu tadi…” Kadang dokter itu pula yang pertama kali memastikan keadaan dirinya,
bahwa Te sedang bergembira, atau Te sedang tertekan. Ia bilang segala sesuatu dapat terbaca hanya dengan melihat kondisi geligi di mulut. Barangkali gempa atau tsunami pun bisa ia baca
disana. Sang pasien hanya mendelik-delikkan mata, lebih
banyak dari biasanya. Mengingat udara dalam lapisan liur yang membungkam
mulutnya yang masih harus ia simpan selama satu jam… Oh pipi yang kian menggembung, Te ingin terbang bersamanya... Kursi ajaib itu pun merendah otomatis, mendaratkan Te kembali ke bumi. Ini kali
kedua ia mendapati geraham sehat di atas telapaknya.
*
Laki-laki itu berbinar mendapati dua kepalan yang
diajukan kekasih di hadapannya. Wajah gadis itu pun nampak begitu misterius, tak
ada laki-laki di dunia yang sanggup menyelesaikan puzzle di wajah-wajah seperti
itu. Walau segalanya nampak sempurna. A
table for two, a table with a view. Di teras ini, beberapa menit lagi
puluhan matahari akan terbenam dari kaca-kaca gedung sekitarnya,
pantul-memantul. Pada ketinggian ini kemacetan lalu lintas pun dapat dinikmati
selayaknya pemandangan di perkebunan teh. Walau mereka harus membayar jumlah
yang tak lazim untuk dua cangkir teh dari daun teh yang konon dipetik dari
Afrika Selatan, dan konon dapat mengobati insomnia. Konon wanita hanya butuh
dimengerti...
“Aku
pilih yang kiri.”
Laki-laki itu tercucuk mengikuti permainannya. Te pun membuka
kepalan tangan kirinya dengan fantastis. Diawali dengan kepakan jari kelingkingnya
yang bengkok, diikuti jari manis, jari tengah, telunjuk, berikut
jempol, dan…
Sebuah
gigi di atas telapak… Di tengah persilangan garis-garis tangan...
Sebuah gigi sebatang kara, tidak pada tempatnya.
Membujur kaku, diserang ruang. Gigi tidak
sekecil yang dibayangkan, memiliki tubuh langsing semampai tertanam di balik gusi. Akar gigi. Selama ini
yang terlihat hanyalah permukaannya saja. Mahkota gigi. Pria itu tercekat,
diangkatnya gigi itu ke udara.
“Selamat! Kau boleh bawa pulang geraham kiri
bawahku yang sehat ini!” akhirnya Te memberi sedikit
penjelasan.
“Ini untukku?” ada jeda membelah bibir laki-laki itu. Ia
pun merasa diliputi oleh suatu selubung
keunikan, bahwa barangkali hanya dirinyalah di antara teman-teman sekantornya,
atau bahkan di antara laki-laki di dunia ini yang menyimpan gigi seorang
kekasihnya yang masih hidup. Barangkali perasaan yang sama pada seorang pemburu
yang meronce gigi binatang-binatang yang berhasil ditaklukkannya di hutan
sebagai kalung di lehernya? Glek. Sesaat kemudian ia tutup kembali pikirannya yang meliar tadi. Betapa ngerinya menyimpan sebuah gigi
milik kekasihnya? Teror macam apa yang ditawarkan kepadanya?
“Kenapa kamu mencabut gigimu, sayang?” suara laki-laki itu terdengar tenang, walau
kerut-kerut di dahinya berbicara lain. Te terkejut mendapati kekasihnya yang seperti tidak tahu menahu mengenai rencana besar yang ada di kepalanya
selama ini. Seolah era telepati telah dimulai semenjak mereka mulai berpacaran.
“Masa tidak tau? Aku harus cabut empat gigi. Aku butuh
ruang gerak agar bisa mengatupkan gigi-gigiku dengan sempurna, untuk bebas
tersenyum dengan wajah simetris.” Betapa anehnya kalimat itu sekalipun mau
diulang dua kali. Dan Te tak memberinya kesempatan untuk mencerna kalimat itu,
“Sampai hari ini aku sudah cabut dua. Satu untukku,
satu untukmu. Kalau tadi kau pilih tangan kanan, kau akan mendapatkan geraham kanan
bawahku…” Te menguak tangan kanannya. Kejutan kedua. Hati-hati pemuda itu pun
mengangkat geraham kanan itu mendekati wajahnya, dengan geraham lain pada
tangan yang lain. Sepasang gigi bersih nan sehat dengan tungkai telanjang...
jasad yang terkulai tak bernyawa (apakah mereka pernah punya?). ‘Satu
untukku, satu untukmu’, di luar sini tak membuatnya menjadi bagian dari
siapapun...
Sebuah rongga di dalam mulutnya mulai berdenyut.
Te terngiang akan semalam mimpinya, begitu nyata, seolah pernah saja terjadi
beberapa tahun yang lalu, pada hari-hari dimana semua yang nyata dengan yang
tidak nyata hanyalah sekedipan mata... Te kanak-kanak dengan kostum
kelincinya... Berlari-larian di atas bukit berbunga... Berloncatan ke sana
kemari seperti layaknya anak kelinci... Tiba-tiba rintik-rintik salju
berjatuhan dari langit. Sekejap saja bukit itu diliputi salju putih. Te kelinci
semakin saja kegirangan! Sambil bernyanyi-nyanyi ia menaik turuni
bukit-bukit... traaalala..lala..lala... Begitu bersemangatnya hingga ia tidak
memperhatikan jurang menanti di hadapannya. Di dalam kebahagiaannya, di tengah
lompatannya yang terakhir, yang tertinggi, yang terjauh, tiba-tiba ia menoleh
ke bawah... Aahkhh!! Salju itu lenyap.
Sebuah lubang hitam merangkulnya! Dan Te
kelinci pun terjatuh ke dalam lorong yang tidak pernah ada dasarnya... Ia
memberontak, mencoba mengerahkan segala
daya upaya untuk membuatnya berbalik ke arah tempat pertama kali ia terjatuh,
namun ia tidak pernah mencapainya. Bibir sumur itu juga telah membumbung
tinggi, jauh meninggalkannya pada saat bersamaan ketika ia mulai jatuh... Dasar
dan bibir sumur... keduanya meninggalkan
dirinya... di tengah-tengah... “Aaaahkhh!!”
“Sayang, aku tidak bisa menerima hadiah ini,” suara itu
menggetarkan lamunannya. Setetes embun menggelincir dari mata Te. Laki-laki di
hadapannya telah dikutuk karena tidak memahami perasaan wanita. Seorang pelayan
mengurungkan niatnya untuk mengisi cangkir setengah kosong yang ada di hadapan
gadis itu. Dan kini mata-mata para pemilik kuping-kuping di sekitarnya pun
mulai malu-malu menoleh. Laki-laki itu merasa malu melihat
dirinya di mata mereka. Ia menjadi jengkel ketika mulai merasa bersalah atas
apa yang tidak pernah diperbuatnya. Setetes air mata, hakim keji sok berkuasa!
Padahal Te yang ia tahu adalah gadis yang paling rasional, tidak pernah menangis
di bioskop, tidak mau dibayari minum secangkir pun, tidak pernah menelponnya
saat jam istirahat, tidak mau tau tentang teman-teman perempuan pacarnya, dan terkadang sedikit tidak berbelas! Terlintas suatu masa yang pernah mereka
lalui, kala ia terbakar api cemburu terhadap teman pria sekantor Te yang selalu
mengajaknya makan siang...
“Kenapa kamu?” Te terheran-heran mendapati
pacarnya berbicara megap-megap saat laki-laki itu justru mencoba setenang
mungkin.
“Pokoknya! Aku gak suka!
Kamu pergi sama dia! Pokoknya!”
Te melihat, kekasih itu terlalu banyak mengambil nafas, paru-parunya
hampir meledak tersesaki oksigen.
“Kamu cemburu?” Alis
mata sok kejut dan huruf U yang masih tertinggal di bibir Te, membuat laki-laki itu heran mengapa wajah sedemikian
menjengkelkannya bisa menjadi kekasihnya.
“Cemburu?! Tidak! Aku hanya tidak suka! Pokoknya!” Ia meraup seluruh oksigen di
ruangan, berjalan mondar-mandir, tidak pernah ada tempat yang nyaman untuk berdiri.
“Aneh... Cemburu itu apa ya?” Te menatapnya penuh
analisa. Separuh jemarinya melintangi mulut. Sebuah kesimpulan di dalam
pertanyaannya. Jantung laki-laki itu hampir copot menghadapi situasi macam ini.
Seolah-olah mereka berdua adalah kelinci percobaan di sebuah laboratorium
raksasa, dimana semua perasaan yang ada dapat diletakkan di bawah mikroskop,
sebentar kemudian komputer dapat menjabarkan unsur-unsur pembentuknya... Gadis
itu mengeluarkan resep :
“Sayang, kamu harus
lebih berusaha lagi. Cintamu padaku masih berada di taraf yang paling rendah...” Gadis itu seenaknya mengayun-ayunkan jemari
lentiknya saat berbicara.
“Pokoknya! Haahh???”
Itulah saat terakhir laki-laki itu pernah cemburu pada kekasihnya.
“Sayang, ini hanya sebuah gigi...?” Laki-laki itu
penuh keheranan.
“Kamu
bilang hanya sebuah gigi’?! Bagaimana
dengan lubang ini?”
“Lubang apa, sayang ? Lubang yang mana?”
“Lihat baik-baik... Ini adalah lubang hitam!” Te menarik rahangnya ke bawah kuat-kuat, membiarkan gravitasi di
dalamnya menarik kekasih itu bangkit dan melongok-longokkan pandangannya ke
dalam. Orang-orang di sekitarnya seperti menyaksikan sebuah sirkus, saat adegan
manusia memasukkan kepalanya ke dalam mulut singa. Laki-laki itu termundur
kembali ke kursinya. Ia terkekeh. Ternyata kini ia memiliki seorang kekasih
ompong... Singa ompong?
“Pacarku ompong...? Tidak apa-apa.
Itu pilihanmu.” Pria itu tidak terlalu
kecewa.
“Apa? Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!”
Entah mengapa kejadian ini membuat mereka sedemikian berlebihan. Dan Te semakin
sengaja memamer-mamerkan ompong itu di hadapan kekasihnya. Pada dasarnya baik
laki-laki maupun wanita memang tidak pernah dewasa...
Te terbangun dari mimpinya sebelum menyentuh
dasar. Di tengah kegelapan yang ia hafal terhuyung-huyung berlari ke kamar
mandi, satu per satu jiwanya terkumpul kemudian. Di hadapan cermin, besar-besar
dibuka mulutnya, dimana terdapat gigi-giginya... putih berbukit-bukit...
dan lubang gelap bekas gerahamnya yang tercabut... lubang hitam
merangkulnya... Tak peduli seberapa condong ia berupaya memperoleh sudut bayangan
yang tepat di depan cermin, ia tidak
mampu melihat dasar dari lubang itu. Selaput liur menggenang di atasnya, bagai
kabut yang menutupi pandangan. Ia teringat kali pertama saat geraham pertamanya
dicabut, duduk di atas kursi praktek dokter giginya... Bibirnya terasa
menebal, bagai seorang petinju di pojok ring menanti bel ronde berikutnya.
Teng! Lingkaran cahaya menatapnya, tang gigi itu sudah berada di udara, entah
sudah berapa lama ia membuka mulut, tanpa satu patah kata pun. Semua terjadi
tanpa rasa sakit. Sesaat kemudian, tang itu terlihat lagi dengan geraham dalam
cengkramannya. Sang dokter dengan bangga mencoba memperlihatkan, betapa
sempurnanya gigi itu telah tercerabut, ia bahkan memintanya untuk dijadikan
model bagi para mahasiswanya, Te menggeleng lemah. Dokter itu menunjuk sebuah
celah kecil pada ujung bawah akar giginya, sayup-sayup dikatakan bahwa di
situlah terletak ujung salah satu urat syaraf... Zzzng...! Sekejap ngilu merasuki
relung-relung tubuh Te, menggeletar
sel-sel otak... Sebuah kabel yang berjuntai-juntai dengan percikan-percikan api
pada ujungnya... Mahkota telah tercabut darinya... Bersama akarnya.. Sebuah rasa menjungkirkan
kendali dirinya... Ngilu itu masih menyayat. Te memandangi lubang hitam
yang menganga, begitu gelap, tak ada cahaya yang lolos ke dalam. Kini syarafnya
yang telanjang tanpa pelindung, mungkin tengah terkulai. Sebuah magnet di medan
gulita. Te membayangkan apa saja bisa terserap
ke sana. Mungkin juga semestanya?
Te tak berusaha menutupi air di matanya.
Laki-laki di hadapannya duduk di kursi terdakwa tanpa mengerti mengapa ia harus
berada di sana. Di sekitarnya para juri tengah berbisik-bisik. Laki-laki itu
sebenarnya orang baik, mencoba mengurut dosa-dosanya, kapan pernah meminta
kekasihnya itu untuk memasang kawat gigi? Yang ia ingat hanya salah satu adegan
romantis, bukan picisan, wajah Te yang berada begitu dekat dengan dirinya...
Tawanya menggoda sekali. Gigi itu sekali-sekali
menyembul keluar, seperti seorang gadis dengan rok satin yang tersingkap angin,
pahanya sekali-sekali terlihat. Gigi itu berada paling depan. Sebuah gigi
muncul memimpin yang lain, semacam aksen dalam deretannya. Ia yang membuat
senyum itu sedemikian spesifik, senyum yang terekam dalam benak laki-laki itu,
yang mendorong dirinya untuk mencium sang kekasih... Kala itu mereka
benar-benar bahagia. Sebelum ada masalah ‘gigi-gigian’ ini, satu gigi terdepan
itu benar-benar terlihat...seksi.
Sekarang semuanya serba aneh. Gadis di hadapannya
lebih ‘monyong’ dari biasanya. Dan itu hanya terjadi kalau mereka sedang
bertengkar. Sesuatu yang sangat indah baginya pada satu waktu dapat
menjadi sesuatu yang sangat mengerikan pada waktu-waktu lain. Semua adalah
kesalahan Te kalau sekarang laki-laki itu akhirnya mulai sadar bahwa kekasihnya
memang membutuhkan kawat gigi. Namun ia tak mengungkapkannya.
“Sayang, aku tidak berpikir kamu
membutuhkannya. Tapi sudahlah...”
laki-laki itu mulai terlihat acuh, mengangkat tangannya memanggil
pelayan. Te tak bisa menerimanya. Semua orang dapat membaca kekalutan di wajah
itu. Puh! Seolah persoalan seluruh jagad raya saja yang dipikulnya!
“Munafik! Katakan saja
kamu juga ingin aku pakai kawat gigi!” Walau Te sedikit lupa, siapa yang paling bertanggung jawab membulatkan
tekadnya untuk memasang kawat gigi yang menyebabkan tercabutnya dua geraham
bawah sehatnya yang tak berdosa itu...
Pandangannya
kembali mengabut. Ia teringat sebuah hari di mana perutnya tidak pernah semulas
itu. Sudah lama Te tidak memiliki
masalah dengan buang air besar. Semenjak masa kecilnya yang dipenuhi
dosa-dosa, diam-diam membuang semangkuk
sayur yang disediakan ibu untuknya, setiap hari, kadang pahit kadang asem -
benda-benda berwarna hijau yang tak sanggup ditelannya di tenggorokkan. Berkat
doa ibu dan omelan panjangnya memaksa ia untuk mensusupi helai demi helai yang
lecek dan becek itu ke dalam mulutnya, Te kecil menatap langit-langit, air
menggenang di matanya, mencoba meniadakan rasa apapun di lidahnya, menelannya
bulat-bulat. Dan semenjak itu ia selalu berhasil melakukannya hingga dewasa,
menelannya bulat-bulat demi manfaat, demi keuntungan-keuntungan yang akan
diperolehnya, demi masa tuanya yang tidak pernah dibayangkannya, tanpa mengenal
selera, dilakukannya dengan tangan dingin. Dan banyak hal di dalam hidupnya pun
dijalani tanpa rasa... ‘Bolehkah
menjalani hal-hal benar dengan alasan yang salah?’ Namun di hari itu ia
benar-benar mulas, tak pernah semulas ini, dan di kamar mandi itu Te tidak juga
berhasil menuntaskannya. Di atas kloset, Te merasa hanya waktu saja yang
berhasil dibuangnya. Ia mulai kehilangan akal. Dibolak-baliknya tumpukan
majalah-majalah kedaluarsa di samping, untuk sesaat lupa akan kesulitan yang
tengah dihadapinya. Di sana berulang-ulang ia melihat, wajah-wajah pucat
berpulasan pelangi, tubuh-tubuh kencang, rambut-rambut gemilang berkobaran,
senyum-senyum sempurna: tertawa sempurna, terkatup sempurna... Wajah-wajah
penakluk! Tiba-tiba ia merasakan perutnya berkerut, bergejolak semakin tak keruan, Te terus
membolak-balik majalah itu dengan kasar, mengecek kembali tanggal terbitannya,
bahwa majalah yang sama sudah pernah dibacanya, kegelisahan akan
ketidakberadaan dirinya di sana (mungkin karena dirinya sedang berada di sini,
di ‘kamar kecil’ ini...)? Untuk pertama kalinya Te menyadari, ada yang salah
dengan dirinya... selain juga masalah akan buang air besar itu. Tiba-tiba ia benar-benar
merasa kurang banyak menelan sayur!
Laki-laki itu telah menghabiskan separuh cangkir
barunya.
“Oke, aku pernah bilang gigi yang di depan itu
seksi. Karena aku pikir memang seksi.”
“Nah! Nyindir kan? Kamu selalu
membuat aku merasa tidak sempurna. Kamu tidak pernah bilang aku cantik!”
“Kalo tidak cantik mana mungkin aku mau?”
“Itu
dia! Kamu ingin aku cantik, tapi kamu tidak mau
bertanggung jawab kalo untuk itu aku harus mencabut empat gigiku yang sehat
ini!? Dua atas, dua bawah...”
“Demi Tuhan, bukankah di luar sana ada sejuta
perempuan memakai kawat gigi tanpa ribut dengan pacarnya? Bahkan ada yang
menarik wajahnya, atau menanam silikon di dadanya?”
“Sudah terima saja gigi ini! Kenapa
rumit-rumit, sih?
“Kamu yang rumit!”
Seperti juga perut yang mulas, kilasan-kilasan
itu juga berlalu begitu saja. Te terjebak. Ia mulai merasa alasan itu terlalu
dangkal untuknya. Ia mulai mencari-cari hal lain untuk menjelaskan
keberadaannya sekarang, sebuah ulasan yang lebih dalam tentang
seorang gadis ompong! Namun di tengah jalan pembenaran itu, ia teringat
akan mimpi dirinya yang jatuh ke dalam lubang... Satu persatu bagian
tubuhnya rontok... terurai... Hingga tinggallah rasa itu sendirian
melayang-layang mengembara tanpa tubuh...
Satu titik rasa, tak bisa retak, tak bisa hilang...
Laki-laki di hadapannya cuma menggeleng-gelengkan
kepala. Ia telah menjadi terpidana mati atas pengadilan hukum sebab-akibat yang
tak jelas asal muasalnya. Dari balik kaca gedung di seberang sana, seseorang dapat
melihat dengan samar-samar, betapa seorang perempuan berdiri sambil
menunjuk-nunjuk hidung laki-laki yang duduk di depannya, lalu tiba-tiba
menunjuk-nunjuk giginya sendiri. Kemudian yang laki-laki terlihat mengangkat
tangan lalu tak lama menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ini aneh. Ini bukan kamu...” Laki-laki itu
memalingkan wajahnya...
Heran... Kamu biasanya selalu tau dirimu
sempurna. Tiba-tiba suatu hari kamu bangun dengan perasaan tidak nyaman, terburu-buru
membuat keputusan. Hari ini kamu ragu dan tidak bisa kembali pada hari dimana
kamu memutuskannya. Kamu biasanya batu karang di tengah lautan. Suatu hari
speed boat kecil menabrakmu, walau tak bisa menghancurkanmu, sesuatu telah
melubangi dirimu. Membuat kamu merasa tidak utuh. Bukan ombak biasa. Juga bukan
karena speed boat, perasaan yang membuatmu rapuh. Ini pasti bukan tentang gigi...
Dan mereka telah melupakan sunset yang
ditunggu-tunggu. Ah matahari... Betapa para ilmuwan itu berusaha keras untuk
mengatakan bahwa matahari tidak sespesial itu, ia bukanlah bintang raksasa
seperti yang dikira orang, ia hanyalah bintang yang terdekat di depan mata. Di
teras ini, sealunan musik berlibur memanjakan telinga menghadirkan ilusi akan
sebuah keringanan hidup. Pohon kelapa mencuat di tengah lantai beton,
terbayang sebuah upaya cukup serius untuk mengadakan mahkluk itu berada di atas
sini dan hidup. Dua buah tiang membingkai air menggerucuk bagai selembar tirai
yang membias cahaya sore, seusap pelangi ada di sana kalau seseorang
benar-benar mengamatinya. Bayangan memanjang cangkir-cangkir teh yang telah
diisi kembali, aromanya yang selalu membuat mereka ingin kembali ke teras ini,
sebuah tradisi lampau yang kembali dikemas, masa lalu pun hadir untuk dijual. Ah,
betapa segalanya memang semakin mudah saja dihadirkan. Seperti kota ini, apa
yang tak mungkin dihadirkan di sini? Seorang perempuan dewasa yang ompong dua
dengan dua belah gigi di dalam
genggamannya, itu pun biasa saja.
“Kalau memang jagad raya ini telah memetakan setiap titiknya hingga
tak ada yang luput dari takdir… asal kau
tau… gigi ini, di atas telapak ini... adalah kehendakku. Terimalah gigi ini! Hanya itu rahasia yang ingin kubagi denganmu.”
Sebuah gigi di atas telapak, di tengah persilangan
garis-garis tangan...
Laki-laki itu menatap kosong. Setiap kali ia
merasa terlalu mengenal kekasihnya, setiap kali itu juga ia menggelinding di
lereng yang sama. Kamu dan kehendakmu, apakah ada yang baru?
“Kamu sensitif sekali hari ini... PMS?”
Mengerti kamu adalah sebuah kesia-siaan...
“Apa?
Tentu saja aku sensitif. Aku memiliki
‘syaraf yang terbuka’...” kembali Te menunjuk-nunjuk lubang hitam bekas
giginya. Kernyitan di dahi laki-laki itu semakin mengeras, mungkin masih akan
membekas berjam-jam berikutnya.
“Kenapa kamu selalu bicara dengan cara yang tidak
bisa dimengerti? Katakan saja apa maksud kamu, kenapa harus berputar-putar? Apa
namanya... metafor?” Gadis itu sama tertegunnya. Sementara mereka telah empat
tahun berpacaran...
“Ada apa dengan metafora? Kenapa kamu pikir semua
kata-kata bermaksud yang sebulat-bulatnya? Memang bagaimana kamu membaca
kitab suci selama ini? Bukankah semua ditulis dengan cara itu?”
“Astaga! Apakah masalah gigi juga
dibahas dalam kitab suci?”
Sementara sudah sejak tadi Te merasa terpental
dari kursinya. Ia sudah tidak ada lagi di tempat. Ia rindu saat-saat nyaman di
atas kursi otomatik di ruang praktek dokter giginya, yang kini tidak pernah
ditemukannya lagi, di tempat yang sama sekalipun. Tak ada yang dapat menjawab
pertanyaan terakhirnya yang tak sanggup
dilontarkannya pula. Gadis itu hanya putus asa terhadap kata. Ia hanya
tak sanggup menjelaskannya,
air matanya terus menetes,
“Ini bukan tentang gigi!”