Selasa, 02 Februari 2010

Jam Pasir


Aku adalah musafir yang terkubur dalam sebuah jam pasir. Badai gurun sekalipun tak mampu meloloskanku. Diriku tertumpah kemana pun kamu mau...

Maka kedua bola mata ini diciptakan menghadap keluar. Menyaksikan bagaimana dunia terbit, orang di kota ini hampir tidak pernah tahu, seandainya bola-bola itu mau berputar ke arah dalam, dibaliknya belahan tergelap telah lama menanti untuk bersinar. Seperti mitos, orang bilang sangatlah berisiko untuk melihat ke dalam sini, dimana sebuah rasa maha agung tengah berputar bagai gumpalan gas, dan waktu belumlah berbentuk. Di luar sana waktu seakan berjalan menderu mengepul-ngepulkan asapnya tak sabar dan diriku terikat di ujung lokomotif. Karena itu, sekali lagi, mataku hanya bisa membelalak keluar, seperti ketika pada awalnya kami bertemu, aku bahkan belum melihat rupamu. Lift ini tidak sepadat biasanya. Ada jarak pandang ideal ketika tiba-tiba saja sesosok tubuhmu teronggok di hadapanku. Sebuah tubuh siluet jam pasir... Secelah cahaya menyusup masuk merembes batok kepalaku yang karam akibat tekanan yang memuncak hari-hari belakangan ini. Lift ini begitu tenang saat kau berada di dalam, hampir serupa kuil, semua menahan nafas, aku yang berdiam menyandar di sudut menyaksikan sebuah penampakan, apa yang benar-benar nampak sepertinya, sebuah siluet jam pasir...
Siapa gerangan dirimu, jam pasir? Dalam sekotak lift dimana orang-orang tanpa nama dari entah penjuru berkumpul dalam sebuah skala intim, dalam suasana formal dan terjaga, dalam keruwetan pikiran masing-masing dan tekanan waktu, aku tak pernah menyadari, hingga tubuh berlekuk bak jam pasir itu memasuki zona pribadi ini, bahwa keheningan semacam ini bisa terjadi di dalam sebuah kotak yang kulalui setiap hari di pagi melompong ini? Lift bergerak lambat. Semua tingkah yang terekam. Untuk sebagian kecil saja orang di kota ini, menjadi teman seperjalanan lift sudah cukup membuat dirinya merasa dekat satu sama lain, seperti si bapak berdahi lebar yang sedari tadi tersenyum-senyum berdiri di sebelahmu, mengucap salam santun, “Mari...”, sebelum ia turun di halte bernama lantai tiga. Melalui kilatan matanya aku tahu ia mengalami goncangan yang sama denganku.
Maka tubuh memiliki pikirannya sendiri. Seperti kedua kakiku ini seperti tahu kemana harus melangkah tanpa sanggup kukendalikan, untuk seorang laki-laki yang selalu menumpukan hidupnya pada rasionalitas, tak dapat kujelaskan apa yang terjadi pada diriku saat memutuskan untuk turun di lantai yang sama dengan dirimu, dan membuntutimu kemana pun kau berkelok, mengacuhkan getaran di saku yang tak henti-henti memvibrasi privasiku, hingga pada kelokan berikutnya engkau berhenti dan membalikkan tubuhmu secara tiba-tiba... Astaga, aku terjaga.

Kamu hanya tersenyum biasa saja ketika mendengarkan penjelasanku pada sebuah pagi berikutnya. Seolah mengesankan hal semacam ini sudah sering kau alami.
“Kenapa sarapan pagi?”, kamu memiringkan sedikit kepalamu ke kiri. Mengapa banyak orang memiringkan kepala ketika sedang bertanya? Entah ke kanan, atau ke kiri. Dan mengapa baru ketika bertemu denganmu saja aku mulai mempertanyakan hal-hal aneh semacam ini. Namun aku urung mengungkapkannya. Khawatir pertemuan pagi-pagi benar ini saja sudah terlalu aneh buatmu.
“Apa terlalu pagi untuk mengenal seseorang?”
“Ha, ha, ha... Untuk ukuran laki-laki yang suka membuntuti perempuan, tidak saya sangka-sangka jawaban kamu!” Kamu tergelak. Aku hanya tersenyum dari balik simpul jari-jari tanganku menopang dagu. Membiarkanmu dengan pikiranmu. Kamu tidak harus buru-buru mengenalku. Dan teh itu tengah dituangkan ke cangkirmu, seperti sesuatu telah memasuki benakmu,
“Memangnya, menurut kamu tubuh saya...bagus?” Menghirupi uap camomile, kamu tampak menikmati sekali teh-mu.
“Hmm. Paling bagus di antara orang-orang satu lift...” Aku sendiri tak mengerti, karena sejujurnya lekak-lekuk semacam dirimu bukanlah hal baru di sekitarku.
“Ha, ha, ha... Damn, you! Jangan-jangan saya satu-satunya perempuan saat itu!” Lalu dengan narcist-nya melanjutkan permainan,
“Ketika akhirnya kamu melihat saya, apa yang kamu lihat?” Keheningan itu kembali membuncah. Kami yang saling bertatap-tatapan, hanya dengan mata yang tertinggal, karena bibirmu hilang dibalik cangkir, dan kepulan asap memudarkan batang hidungmu. Aku menarik nafas panjang, menghirup semua yang ada di depan mata,
“Saya melihat apa yang kamu lihat saat bercermin...” Bahwa tidak ada jawaban selisan itu. Bahwa segala sesuatu terasa lebih dangkal pada saat hendak diungkap. Bahwa kamu pada akhirnya mengerti, dan segera menghentikan babak saling mengintimidasi ini, agar pagi terasa lebih ringan dari yang pernah kami bayangkan. Hingga pada malam harinya menjelang tidur, aku masih bisa mengenang cahaya mentari keemasan saat menyoroti anak-anak rambut di atas kepalamu...

Lalu kamu hadir lagi di pagi berikutnya. Kali ini sarapanmu lebih berat, double sandwich.
“Menurut kamu, siapakah yang harus dipasung? Hmm… perempuan dengan tubuhnya, atau laki-laki dengan pikirannya? Apa yang bisa menghindarkan saya dari laki-laki semacam kamu, membuntuti saya dari lift hingga ke meja kerja saya? Beberapa bahkan langsung mengajak kencan…” Kamu mulai lagi, saat melepas-lepaskan daging dari lembaran-lembaran roti tawar itu. Aku tidak dapat membayangkan, kalau memang merepotkan, kenapa tidak diciptakan saja tubuh wanita seperti buah tomat?
“Kalau tahu kamu secerdas ini, saya tidak jadi membuntuti kamu kemarin, ha...ha...ha...”. Aku tak yakin ingin menjawabnya. Kamu mengangkat bahu.
“Tidak ada pilihan. Perempuan harus dua kali lebih cerdas saat laki-laki dibiarkan menjadi bodoh seumur hidupnya...”
“Ups. Saya semakin menyesal. Kamu seorang feminis?”
“Siapa bilang? Saya senang dibayari sarapan pagi. Ha!” Kami tahu. Kami hanya berusaha saling merendah. Siapa pula yang ingin menyingkap kompleksitas martabat manusia di pagi hari yang masih terlalu pagi ini.

Kamu mengatakan kamu tidak bisa datang di pagi hari berikutnya. Lalu berikutnya lagi. Hingga satu minggu kemudian kamu menghubungiku untuk bertemu di jam dan tempat yang sama. Aku mengiyakan setelah kondisiku yang menjadi kacau balau tanpa harapan tak bisa dijelaskan. Aku hampir bertapa dalam gunungan pekerjaan yang tiba pada titik yang tidak dapat kurasakan lagi. Tolong, aku tak merasakan apa-apa! Kubutuhkan secelah dirimu... Dan kami bertemu dengan sikap seolah tidak terjadi apa-apa pada saat kami tidak bertemu. Matahari bulat seperti kuning telur yang dikeluarkan sebelum waktunya (memang semua telur adalah belum waktunya). Seperti yang terceplok di atas piringku di atas butir-butir nasi kecoklatan tak lama setelah digoreng. Sudah kutebak sejak pertama kamu adalah vegetarian.
“Dari mana kamu tahu?”
“Dari kulit kamu. Sejak kapan?”
“Sejak laki-laki menginginkan wanita berkulit bak porcelen, ha...ha...ha...!” Sekali lagi kamu terus menerus merendah. Sekedar menunjukkan solidaritas bahwa kamu juga sekelas dengan mahkluk bernama laki-laki. Dan barangkali aku pun tak yakin ingin melihatmu lebih dari apa yang terlihat di depan mataku sekarang, sepasang mata yang menghadap keluar ini. Aku menelan kuning telur itu bulat-bulat. Sambil menatap dirimu, meyakini diri, bahwa bola mata ini belum berputar ke dalam, menjelajahi bagian tergelap? Kuyakinkan diriku masih berenang-renang di atas permukaan. Khawatir aku terjatuh di kedalaman diriku? Melalui sebuah tubuh berlekuk siluet jam pasir? Please...
“Kemarin saya mampir ke lantai kamu, menitipkan sarapan untuk kamu di front office.” Ya, tapi tindakanku semakin absurd.
“Saya tahu. Itu juga kenapa saya menelpon kamu…, untuk mengakhiri ini semua,” kamu sibuk mengaduk-aduk juice kiwi itu seperti juga kamu mengaduk-aduk isi perut dan kepalaku tiba-tiba. Aku tak mengerti, ada berapa lapis jubah misteri kau kenakan?
“Mengakhiri apa?”
“Sarapan pagi.” Kamu mulai menyedot juice itu. Aku pun hampir tersedot ke dalamnya. Bagaimana bisa kamu menolakku di saat segala sesuatu masih terlalu dini?
“Hmm, kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau.” Tak seharusnya aku menanggapi sarapan pagi seemosinal ini.
“Kamu tidak apa-apa, kan?”, seperti harus memastikan bahwa tak ada yang terluka dalam permainan ini. Kamu terlalu percaya diri.
“Maafkan saya, kamu baik sekali selama ini mau menemani saya. Tapi saya tidak mengakhiri apa-apa, saya memang selalu di sini untuk sarapan.” Kita lihat siapa yang lebih terluka. Namun juice-mu yang lebih dulu habis. Apakah sudah habis waktunya? Kamu berdiri seolah-olah bersiap membalikkan kembali jam pasir. Kamu bahkan tersenyum yang terlega yang pernah kulihat.
“Baguslah. Senang bisa bertemu orang yang masih menikmati sarapan paginya. Sangat bagus untuk kesehatan. Terima kasih ya buat sarapannya...” Aku hanya menjawab dengan satu anggukan. Dan saat kamu melenggang menuju pintu keluar, aku ingat cahaya matahari yang berkobar dari balik lengkung pinggulmu. Saat itu aku tahu, tubuhku telah terkurung di sana, jam pasir...

Kamu barangkali sudah menebak apa yang akan terjadi kemudian. Aku kembali berhenti di lantaimu, mendekati kubikal itu dengan gagah berani namun dengan nafas terhuyung-huyung. Kamu seperti telah mempersiapkan segalanya, caramu duduk, berdiri lalu menyandar ke meja, mengangkat telpon, mondar-mandir sembari meminta maaf telah membuatku menunggumu, semuanya dalam balutan tubuh itu. Kamu yang membuat aku sehina ini. Menggamit lenganmu, sampai akhirnya kamu benar-benar berhenti. Sungguh picisan semua ini!
“Seandainya kamu tidak punya waktu untuk sarapan, apa kamu punya waktu untuk makan malam?” Aku tak peduli lagi. Kamu boleh pura-pura melongo. Aku juga sudah tahu bahwa aku terlahir hina.
“Maaf, tapi saya tidak makan malam.” Kamu selalu terlalu cepat menjawab. Sedisiplin itukah kamu menyangkal dirimu? Tidak makan malam? Siapa dirimu sebenarnya? Korban? Dari tubuhmu sendiri? Aku tertawa. Untung saja, aku hampir terjebak dengan mengira ada sesuatu yang lebih dalam dari itu semua?!
“Ok. Maaf sudah banyak mengganggu kamu.” Sesaat aku merasa seluruh kota runtuh menimpaku, sampai akhirnya kota yang sama berdiri kembali tegak hanya dalam hitungan detik saat kamu kembali memanggilku.
“Saya tidak makan malam karena saya suka ngemil sore-sore,” kamu tersenyum seperti seorang pemenang, padahal kamu sedang berhadapan dengannya...
“Hmm... Saya tahu kedai yang menjual es krim yang tidak cepat meleleh di mulut...”

Dan aku telah berjalan cukup jauh untuk bisa duduk di atas bangku taman ini. Tentu saja, aku telah berlari bergunung-sungai-lembah jauhnya hanya untuk mendapatkan satu titik saja di kota ini, tak ada jalan pulang. Aku bahkan tak tahu dimana rumahku, tempat dimana aku dapat duduk dalam damai pada suatu sore saja. Menanggalkan segalanya, jadwal-jadwal yang saat ini nampak tak lagi penting, di atas bangku taman ini aku banyak melamun, menjilati hampir separuh es krim bagianku. Kota yang berderet dalam horizon bergerigi seakan menyeringai memandangku, barangkali aku terlalu sensitif. Seorang ibu dan bayi sewaannya yang menghampiriku. Aku hanya diam melamuninya, tak menepis ataupun merogoh saku, karena kedua tangan ini telah penuh menggenggam es krim... Bayangan mereka memudar ketika bayangan kamu pada akhirnya menembus muncul bersama gulali raksasa pada langit di belakangmu, merah dadu, jingga, ungu... Angin-angin kecil mempermainkan lipat-lipat rokmu, rambutmu. Lalu siluetmu, beberapa saat sebelum matahari terbenam... Aku merasakan desiran-desiran pasir hangat mulai menenggelamkanku, di dalam tiap butirnya, detik per detik, sebuah kurungan waktu…
“Maaf. Jalanan macet, banyak demo. Gimana dengan kamu? Hebat juga bisa kabur lebih dini. Eng... apa itu es krim saya?”, kamu sangat terkejut saat melihat sebelah tanganku masih menggengam es krim bagianmu sejak pertama hingga lumer. Aku pun turut memandang sebelah tanganku yang berlumuran coklat, vanila, strawbery... Apakah aku telah mempermalukan diriku? Kamu pun diam menatapi tetesan-tetesan es krim di sela-sela jariku. Rapuh. Dan saat matahari akhirnya terbenam, kamu nampak telah siap untuk dipatahkan... menangis begitu saja. Aku yang menyaksikan butir-butir air mata itu luruh, berkilauan memantulkan langit senja, aku bahkan hampir dapat melihat lautan di dalamnya kalau saja kamu tak mengusikku,
“Apa yang kamu lihat?!”
“Hmm... Kamu.”
“Ada apa dengan kamu?! Matahari tenggelam terbentang di hadapanmu, kamu malah melihat saya?” Ucapanmu menusuk, kamu tahu! Padahal beberapa saat yang lalu aku hampir mengira diriku sudah sederajat denganmu. Apa kau lupa, bangku VIP pertunjukan senja ini, aku yang memilihnya! Tapi aku biarkan kamu dan pikiranmu.
“Eng... Kedai ice creamnya sudah tutup. Kalau kamu masih benar-benar mau, dengan amat terpaksa harus menjilat dari tangan saya...”. Kamu terkekeh jengkel namun terpesona mendengarnya.
“Ha..ha..ha… Kamu mahkluk paling menjijikan yang pernah saya kenal!” Namun dengan gaya khas-mu pun kamu menjilat sisa es krim itu, perlahan… Hanya satu kali. Lalu, untuk kesekian kalinya aku harus memandangmu bangkit berdiri, entah putaran ke berapa, begitukah caramu menggulirkan waktu, jam pasirku sayang?
“Oke, saya harus pergi sekarang…” Tidak! Segera kutangkap jemari kecilmu, kubiarkan lumat bersama tetesan vanilla, coklat, strawberry di dalamnya… Biarlah kita sama-sama menjijikkan.
“Jadi... besok pagi kita sarapan?”

Aku menyaksikan matahari terbit dari balik perbukitanmu, jam pasir. Sebuah lukisan pagi, dengan tubuhmu kau boleh membingkai-bingkainya seleluasa yang kau mau. Di kota ini waktu telah kau taklukkan. Dan di atas tempat tidurku ini, kamu boleh memiliki duniamu sendiri. Aku menyapamu,
“Selamat pagi, cinta...”
“Ha...ha...ha... Cinta? Bagaimana kamu mengenali cinta?”, kamu menggeliat…meletakkan dagu di atas dadaku, masih belum puas saja menderaku.
“Hmm…?”
“Kata seorang filsuf, orang tidak pernah mengerti tentang cinta, karena setiap kali orang mencoba memikirkannya ia selalu menggantikan tempat itu dengan wajah-wajah orang yang dicintainya, atau bahkan benda-benda atau hal-hal yang adalah bukan cinta itu sendiri...”
“Untung saya cuma laki-laki sederhana…”
“Maksudnya kamu lebih pintar??”
“Tidak. Saya bahkan tidak bisa berpikir. Buat saya cinta memang sesederhana itu…” Kamu tercenung serius mendengarnya.
“Kamu benar. Memang sebaiknya kita donorkan saja otak ini kepada kera…!” Aku bisa saja terkejut mendengar kata-katamu, cinta. Namun pagi ini sudah terlanjur damai, dan tak ada apapun yang sanggup mengganggunya. Mengusap rambutmu ke balik telinga,
“Kalau tahu kamu secerdas ini, saya tidak akan tidur denganmu semalam, ha...ha...ha...,” aku pikir kita punya selera humor yang sama. Kamu nampak tak memedulikan ucapanku.
“Sarapan apa kita pagi ini?” todongmu tiba-tiba.
“Aku punya beberapa jenis buah di kulkas...”
“Aku mau apel.” Tentu saja kamu menginginkan apel. Kamulah yang pertama kali memetik & memakannya.

Aku masih menunggumu mandi dalam damai, cinta. Berenang-renang dalam butiran-butiran waktu yang hangat, pasir yang berkilauan. Namun di layar televisi kusaksikan tayangan berturut-turut, yang berlari-larian ke sana kemari, bersimbahan air mata & darah, menjerit-jerit memanggil nama Yang Kuasa sambil memeluk orang yang dikasihi... orang-orang yang kehilangan, wajah-wajah kehilangan cinta... Tiba-tiba aku merasa mandimu terlalu lama. Dan ketika akhirnya kumenyadari kamu tengah berdiri mematung sedari tadi dengan wajah pucat, aku terpental dari kasurku.
“Cinta, kenapa?”, mengusap rambutmu ke balik telinga.
“Saya mau mengatakan sesuatu...” suaramu tegar namun gemetar.
“Katakan saja, cinta...”
“Saya butuh uang...” Aku hampir tidak percaya mendengarnya. Namun aku tidak ingin memikirkan apa-apa. Pikiran ini, sudah lama ingin kubuang pula, cinta. Aku tak perlu tahu akan kau gunakan untuk apa uang itu, hanya yang kutahu bahwa kamu akan mendapatkannya. Segera kumenarik laci dekat tempat tidurku, dimana kuletakkan buku cek dan pena terselip di dalamnya.
“Berapa yang kau butuhkan?” Hatiku yang melakukannya, cinta. Dengan hatiku, aku sanggup melakukan apapun. Hanya saja engkau benar, aku melecehkan pikiranku... Kamu seperti menyebutkan sejumlah angka sekenanya, alisku sempat tertarik refleks, namun kukutip pula jumlah itu ke dalam selembar cek dan kuberikan padamu. Kamu menerimanya dengan gemetar.
“Dengan apa aku harus membalasnya?” hati-hati kamu mengajukannya. Aku meraih tubuhmu mendekatiku, handukmu terkulai ke lantai.
“Teruslah sarapan pagi bersamaku, cinta...” Namun tiba-tiba aku menyaksikan tatapanmu menjadi kosong. Butiran-butiran air itu kembali menetes di sana, memantulkan fajar...
“Kamu tidak mengenal cinta... Kamu juga tidak mengenal aku. Kamu hanya mengenali tubuhku! Itukan awal mula semua ini? Untuk itu pulalah cek ini kau berikan?!” kamu mengacung-acungkan cek itu ke wajahku. Oh Tuhan, kamu membalikkan kembali jam pasir itu! Aku pun terhimpit di tengah leher botol. Aku harus mengatakan apa? Bahwa lekuk pinggulmulah yang anehnya menyeberangkan aku menuju lautan terdalam, sebuah belahan yang dahulu gelap, kini mataku telah berputar ke dalam dan menatapnya... aku mengenali cinta... Mengangkatku menjadi manusia, semulia dirimu? Masih dari balik pinggul itu pula kumelihat pantulan gambar-gambar di televisi yang sama terus berulang, wajah-wajah kehilangan cinta? Lututku lemas tak kuasa, aku bertekuk...
“Cinta, aku tak pernah merendahkanmu seperti yang kau pikirkan. Tolong hentikan pikiran-pikiranmu...,” karena itu berbahaya... Apa lagi yang kau temukan di sana, dalam amuk sel-sel kelabumu, di saat kau baru juga selesai mandi?
“Jangan pernah kamu berpikir menemukan cinta dalam wajah-wajah, tubuh-tubuh, di sela-sela waktu sempitmu, di kota ini! Kamu tidak akan mendapatkannya!” Dari sebuah sudut tempat tidur kini aku mematung menyaksikan kamu merampas-rampas pakaianmu dan memakainya dengan tergesa. Kamu, tubuhmu dan pikiran-pikiranmu. Cinta... Mengapa kau lapisi dirimu berlapis-lapis? Tak dapatkah kita sekedar memilikinya saja? Kamu pikir dirimu korban? Mengapa aku merasakan hal yang sama...?

Aku masih sarapan pagi di sini. Untuk yang terakhir kalinya. Sejak sekian lama menantimu berbalik kembali, jam pasir, telah kudengar angin membawa kabar bahwa kamu pergi sejak pertama kali ke pulau yang tenggelam itu, kepada mereka, wajah-wajah yang kehilangan cinta... Kau pikir akan menemukannya di sana? Kukagumi caramu bekerja, cinta. Tak pernah ku menghakimimu, dirimu yang kadang berselimut kegelapan... Kuselesaikan kopi ini, lalu bangkit menyandangkan ranselku. Ya. Akan kutinggalkan juga kota ini. Berapa putaran yang kau tawarkan, jam pasir? Diri kita terkurung masih dalam cinta...



Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar