Selasa, 19 Januari 2010

Dua Menit untuk Abadi di Salihara



-->
Laki-laki itu keluar dari gelap... Setelah saya menunggu kurang lebih 15 menit duduk di bangku penonton, yang mana untuk mendapat titik pandang ini saja saya sudah pindah tempat 3 kali, ngobrol ngalor ngidul dengan seorang sahabat sambil menikmati manusia-manusia eksentrik di sekitar kami, saya sudah berangkat dari rumah 1,5 jam sebelumnya sebagai antisipasi jalanan Jakarta gerimis yang tidak bisa ditebak , dan satu hari sebelumnya lagi bahkan kami sudah datang ke gedung ini untuk mendengar mbak-mbak di balik loket bilang bahwa tiket sudah habis terjual, lalu kami makin penasaran & langsung pesan tiket untuk hari minggu tgl 17 ini, yang padahal hari sabtu itu juga saya sudah berangkat 2 jam sebelumnya. Jujur bukannya saya segitu mengharapkan pria-pria berstoking warna kulit melenggak-lenggok di depan saya amat, ingin mencari hiburan keluar dari rutin dengan sok-sok-an menonton pagelaran seni tari “Kreativitat Dance” pimpinan Farida Oetoyo, saya tidak mempersiapkan mental untuk menonton pria berpostur ‘tambun’ menari-nari balet solo di hadapan saya…! Maafkan. Size doesn’t matter. Tapi ekspektasi terlalu tinggi terhadap apapun memang bisa membunuh!
Namanya Yudistira Syuman. Dalam gerak & mimik ia bercerita tentang seorang pengidap skizofrenia. Koregrafer yang mementaskan tariannya sendiri ini konon melakukan riset pula ke rumah sakit jiwa hanya untuk mengamati gerak-gerik pasien skizofrenia. Panggung ditata sederhana, lighting sederhana, kostum seperti mau main layangan, mendesak alunan synthesizer karya Indra Lesmana menghipnotis penonton, membuat saya akhirnya melamunkan gerak-gerik penari di tengah sana... Beliau meninggalkan rasa simpati & sayang saya pada para penderita skizofrenia, dengan berakhir terduduk bersandar di sebidang kanvas yang mengesankan ‘di balik pintu’, cahaya menyudutkan dia di sana, kesepian, sambil bergumam :
Namaku Luka,
Aku tinggal di lantai dua,
Aku tinggal di atas rumahmu,
Mungkin kamu pernah melihatku sebelumnya,
‘Luka’ by Suzanne Vega. Penonton tersenyum-senyum sendiri, terlebih-lebih saya. Wah lega rasanya, merasa berhasil menangkap sesuatu dari pertunjukkan pertama ini... Malang buat teman saya yang sampai selesai lirik terjemahan tadi digumamkan, masih mengernyitkan dahi.
Mas Yudistira Syuman ini benar-benar seorang koreografer luar biasa! Karya berikutnya dibawakan oleh sepasang penari, berjudul cukup panjang, “…Bagai Sepotong Seruling Bambu yang akan Engkau Isi dengan Musik”, diilhami oleh fragmen dari Gitanjali karya Rabindranath Tagore “Engkau membuat abadi, begitulah kesenanganmu. Bumbung yang rapuh ini engkau kosongi lagi dan lagi, lalu engkau isi dengan kehidupan baru…Nomor ini tentang cinta. Awalnya saya merasa ini terlalu manis dan cengeng buat saya, sampai setelah itu saya dibuat tersentak dan tercengeng-cengeng olehnya…! Saya tidak tau kenapa, dan di detik ke berapa, tahu-tahu air mata saya menetes begitu saja… Sedih bukan, terharu mungkin bukan, hanya… apa kata yang tepat ya?... Tersihir! (Atau kualat, karena sok kritis). Sialnya musik yang dipilih Aksan Syuman & Titi Syuman (penata musik) di momen itu adalah instrumental tembang lawas, ‘Sabda Alam’, dalam dentingan piano minimalis, membuat diriku tak kuasa… tes…tes…tes… Buru-buru usap. Tengok kanan kiri, adakah yang seemosional saya? Betul-betul personal nomor ini. Siko Setantyo jadi bintang di hati saya malam itu. Penari berpostur kurus, agak kecil, bertulang, namun padat, seandainya dia tidak menari saya tidak akan pernah ingat wajahnya. Tapi sampai saat menulis tulisan ini, tulang-tulang yang menonjol dari jemari tangannya saja saya masih ingat. Saya rasa sesaat itu saya jatuh cinta, bukan dengan sosok, bukan karena lokasi, hanya betul-betul tersirap pada sebuah sekuen indah yang patut dibahagiai… Momen itu dimulai justru saat saya merasa jengah dengan adegan menangis dari penari perempuan yang kepanjangan, lalu tiba-tiba dentingan ‘Sabda Alam’ masuk tepat saat Siko Setantyo memainkan dua jari di kedua tangannya, merayu penari perempuan, gerak tubuhnya melebur dengan musik, bahkan dialah musik tersebut… memikat kuat, memori pribadi yang saya tidak ingat apa, campur baur menghentikan waktu… hingga bermenit-menit kemudian saya mulai merasa hambar ketika harus menyaksikan sekuen itu diulang dua kali?! Please, mas Yudistira, tolong jangan lakukan itu! Bluss! Padam sudah kristal sihir di hadapan saya. Namun sekali lagi, terima kasih, telah “mengisi bumbung yang rapuh ini dengan keabadian… walaupun akhirnya kau kosongi kembali ” …
Kalau boleh dibilang, pagelaran tari Kreativitat Dance di Teater Salihara tanggal 16-17 Januari kemarin adalah sebuah kolaborasi ‘KKN’ antara ibu, anak, kakak beradik, & istri, yang sukses. Grup tari itu sendiri pimpinan pebalet paling terkenal di Indonesia, Farida Oetoyo, dengan koreografer sekaligus penari ananda Yudistira Syuman, serta sang adik drummer Wong Aksan (Aksan Syuman) & istrinya yang sangat cantik, Titi Syuman, sebagai penata musik. Baca di Kompas Minggu pagi, katanya ini adalah kolaborasi pertama mereka sebagai sebuah keluarga. Barangkali akan lebih lengkap lagi kalau teks dari penulis Djenar Mahesa Ayu (yang juga salah satu anak dari Farida), yang saya lihat hadir malam itu, juga menginspirasi salah satu tarian di dalamnya. Hanya usulan saja.
Nomor terakhir adalah yang paling panjang, terdiri dari 4 babak, karya Farida Oetoyo. Saya cukup bersemangat ketika babak pertama dimulai dengan adegan bercinta Dewi Kunti remaja dan Batara Surya di balik sebuah bilik kecil di pojok kanan panggung (saya suka tirai plastik panjangnya yang tergantung dari atas sampai bawah berwarna es). Tubuh penari perempuan yang indah hanya dibalut stoking warna kulit dan mereka bergeliat di ruangan sempit yang ternyata bawahnya kolam, basah, lighting temaram. Erotis memang tapi tidak vulgar (mungkin karena mimik penarinya agak tegang?). Yang mengganggu saya cuma adegan Batara Surya mengucurkan air dari dalam kendi ke arah Dewi Kunti... Metafora yang tepat, tapi buat saya kok terlalu jelas gitu, ya. Saya lebih suka kendi itu saat diberikan ke dekapan Dewi Kunti, lalu sang dewi keluar dari bilik, berjalan dengan lunglai namun tegar, masih menggendong kendi, sambil menyeret pakaiannya perlahan-lahan keluar panggung. Tiba-tiba muncul ksatria negeri Kurawa, Karna (diperankan kembali oleh idola baru saya, Siko), memaki-maki Arjuna, disusul keluar seorang penari berambut putih (make up) yang ternyata Dewi Kunti dewasa yang sekarang telah menjadi ibu dari Pandawa Lima. Terjadi dialog yang cukup panjang & jelas, bahwa Karna adalah anak hasil perselingkuhan Dewi Kunti dengan Batara Surya. Karna dilarung di sungai dan ia dibesarkan dalam kasta rendah. Kedatangan Kunti untuk mencegah Karna berperang melawan Pandawa Lima, saudara seibunya itu sendiri, namun ditolak olehnya demi membalas jasa kepada negeri Kurawa yang membesarkannya. Mulai dari sini saya menikmati kolaborasi ini sebagai sebuah satu kesatuan pertunjukkan, tanpa harus memikirkan ini tari atau teater atau operet, dll.
Babak kedua Kunti dewasa menari dengan bayangan masa lalunya, Kunti remaja. Saya suka karakter yang diciptakan dua penari ini, walaupun mereka menari seperti bayangan namun ekspresinya berbeda. Kunti remaja tampak menari dengan lugu dan gamang, sementara Kunti dewasa menari dengan berbeban berat dan penuh rasa sesal. Suara penyanyi arahan Aksan & Titi menyayat-nyayat, penuh kegetiran, sepasang bayangan berkostum warna ungu, wow… saya cukup larut.
Genderang peperangan ditabuhkan, tanda peperangan dimulai. Babak ketiga tampak seru dengan lima laki-laki gagah (Pandawa Lima) menari serentak, tangan di pinggang mirip wayangnya, membentuk formasi busur, berhadapan dengan Karna seorang diri (oh, Karna…). Kostumnya enak dipandang, namun saya merasa babak peperangan ini terlalu pendek. Karna terjatuh, yang langsung ditangkap ibunda Dewi Kunti, seorang ksatria Pandawa (siapa ya, Arjuna?)ingin menebasnya namun dicegah yang lain, akhirnya Karna tetap harus mati (dalam bahagia menurut saya, karena dalam pelukan ibunda). Saya terharu sekali, pertama karena kisah klasiknya yang memang indah (yang malunya saya baru tahu sekarang!), kalau mau ngalor ngidul saya yakin Karna bakal masuk surga karena dia tidak bersalah…!? Ayahanda Batara Surya telah menantinya dari balik bilik pojok kanan panggung (dengan lighting tepat di atas kepala, berbayang-bayang, tubuh penari Batara Surya paling bagus seantero panggung pertunjukan berdurasi 2 jam-an ini…).
Babak terakhir. Agak membingungkan buat saya, sebelum membaca keterangan di pamflet. Tentang pengadilan terakhir, saya pikir mereka tengah digiring ke neraka (saya kok sok mengadili amat), ada 3 orang, yang satu jelas Dewi Kunti, saya tidak tahu yang dua lainnya. Tapi satu penari perempuan yang ditutup matanya bergerak paling menonjol, suara penyanyi di balik layar merintih penuh kesakitan, sempat menimbulkan rasa ngeri akan neraka (habis ini ingin rasanya keluar gedung sambil menabuhkan kendang bernyanyi… “perdamaian…perdamaian…”). Yang paling janggal buat saya kostum penari-penari yang memerankan ‘api’, dengan penuh rasa hormat, madam Farida, yang merangkap pengarah kostum, menurut saya ‘Hallowen’ sekali, agak mirip operet remaja. Maaf. Belum lagi ada penari yang kepalanya terjebak dalam kostumnya sendiri saat tengah bergerak menghayati perannya sebagai api... Tapi ini semua mungkin cuma kesalahan kecil yang saya besar-besarkan saking kurang wawasan. Peace!


-->

1 komentar:

  1. Review yang bagus, Tid, tuk seorang awam...:). I did not know that you were so deep connected with lakon2nya. Tp emang bagus sih lakon kedua n ketiga...begitu "menyentuh dan menggerakan." Glad that I have u to enjoy sebuah karya seni yg menawan.

    BalasHapus